Jumat, 07 Maret 2014

BAB ZAKAT




v 



Definisi zakat

Zakat Secara bahasa adalah bertambah, suci, tumbuh, barakah[1]. Sebagaimana firman Allah SWT:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا )اشمس(9 :

“ Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya” (Qs. Assams: 9)

Sedang secara syara’ zakat adalah bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah wajibkan untuk diberikan kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak menerima zakat)[2]. Ini berarti orang-orang yang memiliki nisab zakat wajib memberikan kadar tertentu dari harta nya kepada orang-orang miskin yang semisal dari mereka yang berhak menerima zakat.

Ø Hukuman bagi orang yang enggan mengeluarkan zakat

Barangsiapa yang menolak untuk mengeluarkan zakat karena kikir, maka zakat harus diambil darinya secara paksa dan orang itu dikenai hukum jera ( ta’zir ). Demikian menurut kesepakatan empat imam madzhab Syafi’I berpendapat dalam qaul qadim : harus diambil sebagian hartanya disamping harta yang wajib dikeluarkan . hanafi : orang itu harus dipenjarakan hingga ia mengeluarkan zakat, tetapi tidak

diambil hartanya secara paksa . Adapun orang yang menghindari kewajiban zakat, seperti memberikan sebagian hartanya atau menjualnya dan membelinya kembali sebelum setahun, maka gugurlah kewajiban zakat darinya, tetapi ia dipandang telah berbuat durhaka atau kejahatan. Demikian menurut pendapat hanafi dan syafi’i. sedangkan maliki dan hambali berpendapat : tidak gugur kewajiban zakatnya. 2

Ø Orang yang diwajibkan mengeluarkan zakat

Zakat adalah suatu bentuk ibadah yang unik dan spesifik. Meskipun secara hakikatnya merupakan ibadah sosial yang intinya memberikan bantuan kepada si miskin namun ada ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan denganya. para imam madzhab sepakat bahwa zakat diwajibkan kepada orang islam yang merdeka, baligh, dan berakal sehat. Mereka berbeda pendapat tentang kewajiban zakat bagi budak mukatab. Hianafi berpendapat : wajib zakat sepersepuluh atas tumbuhan-tumbuhan milik mukatab , tidak pada hartanya yanh lain. Ats-tsawri berpendapat, “ wajib zakat atas mukatab secara mutlak .” Maliki, syafi’I, dan Hambali berpendapat: tidak diwajibkan zakat atas budak mukatab. Orang murtad yang semasa keislamanya telah diwajibkan membayar zakat, maka kewajiban tersebut tidak gugur lantaran kemurtadannya. Demikian menurut tiga imam mazhab. Sedang Hanafi berpendapat: kewajiban tersebut gugur.. 4

Ø Hukum zakat pada harta anak-anak dan orang gila

Hukum zakat pada harta keduanya(anak- anak dan orang gila) Menurut Imam Syafi’i: wajib, begitu juga menurut Imam Abi Al-Hasan bin Ahmad bin Muhammad Ja’far al-Naghdadiyyi Al-Qadduriyyi. Hanafi berpendapat: Bahwa harta anak kecil dan harta orang gila tidak wajib dizakati, sedang bagi walinya tidak dituntut untuk mengeluarkan zakat dari harta keduanya. Karena zakat merupakan “Ibadah Mahdhah” (murni). Sedangkan anak kecil dan orang gila tidak diperintah untuk menunaikan zakat, dan yang wajib pada hartanya hanyalah untuk kepentingan denda dan nafkah, karena keduanya itu termasuk hak semua orang; juga pada hartanya wajib dikeluarkan 10 persen dan zakat fitrah, karena dalam hal ini mengandung pengertian biaya belanja. Maka ia juga termasuk hak semua orang. Hukum orang yang kurang waras pikiranya (gila) sama dengan hukum anak kecil, oleh karena itu maka tidak ada kewajiban zakat atas keduanya( anak-anak dan orang gila) .[3] Imamiyah berpendapat: Berakal dan baligh tidak menjadi syarat wajib zakat, maka dari itu harta anak-anak dan orang gila wajib dizakati, walinya harus mengeluarkannya.

Ø Hukum bagi seseorang yang memiliki harta yang mencapai nisab tapi masih mempunyai hutang

orang yang mempunyai piutang yang banyaknya sampai satu nisab dan nisabnya telah sampai satu tahun serta memenuhi syarat-syarat yang mewajibkan zakat, juga keadaan piutang itu telah tetap, baik piutang itu dari jenis emas atau perak maupun harta perniagaan. Piutang yang seperti itu wajib dizakati dan wajib mengeluarkan zakatnya bila mungkin membayarnya.Kalau yang berhutag itu kaya, dapat membayar sekiranya yang berpiutang minta dibayar , maka yang berpiutang wajib membayar zakatnya ketika itu. Tetapi kalau berpiutang miskin, belum dapat membayar, maka zakatnya tidak wajib dabayar ketika itu, hanya wajib dibayar sewaktu ia sudah dapat membayar, walaupun untuk beberapa tahun ( beberapa kali bayaran ).6dalam hal ini, Syafi’I mempunyai dua pendapat. Pertama, dalam qaul jadid dan yang kuat: tidak gugur. Kedua. Dalam qaul qadim: gugur. Pendapat qadim syafi’I sesuai dengan pendapat hanafi, tetapi kewajiban membayar sepersepuluhnya tidak gugur. Hambali juga memiliki dua pendapat tentang harta konkret. Pendapat termashur diantaranya: utang tidak menggugurkan kewajiban zakat jika harta itu berupa benda konkret.



Sementara itu, maliki berpendapat: utang menggugurkan kewajiban zakat atas emes dan perak, tetapi tidak atas binatag ternak.

Ø Orang yang meninggal dunia tapi masih mempunyai tanggungan membayar zakat

orang yang berkewajiban membayar zakat, lalu ia mati sebelum melaksanakannya , maka zakat itu diambilkan dari harta peninggalanya. Demikian menurut tiga imam mazhab. Sementara iu, Imam Hanafi berpendapat: kewajibanya gugur disebabkan kematianya. Akan tetapi, jika ia berwasiat tentang kewajiban tersebut, maka zakatnya diambil dari sepertiga hartanya. Syafi’I dan Hambali berpendapat: kewajibanya tidak gugur. Sedangkan menurut maliki: jika ia tidak mempedulikan kewajiban zakatnya hingga melampaui masa setahun atau beberapa tahun, maka hal itu menjadi tanggunganya dan berarti ia telah durhaka kepada Allah swt. Selain itu, semua hartanya menjadi hak ahli waris. Sementara itu, zakat yang menjadi tanggunganya berubah menjadi hutang terhadap orang yang tidak jelas. Oleh karena itu, tanggungan tersebut tidak dapat dibayar dengan ahli warisnya. Kalau ia mewasiatkan untuk itu, maka diambil sepertiga, dari peninggalanya terlebih dahulu sebelum wasiat lainya dipenuhi. Jika ia tidak membayarkanya hingga ia mati maka zakat harus dikeluarkan dari keseluruhan hartanya. 7

Ø Niat merupakan syarat membayar zakat

Empat mazhab sepakat bahwa pembayaran zakat tidak sah kecuali disertai dengan niat. Al-awza’i berpendapat bahwa dalam mengeluarkan zakat tidak diperlukan niat. Para imam madzhab berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya mendahulukan niat dari pada pembayaranya. Hanafi berpendapat: tidak boleh tidak., harus ada niat bersamaan dengan pembayaran atau pemisahan kadar yang wajib dibayarkan. Maliki dan syafi’I berpendapat: sahnya pembayaran zakat memerlukan kesertaan niat. Sementara itu, Hambali berpendapat: hal demikian adalah mustahab. Oleh sebab itu, jika sekiranya niat itu lebih sedikit, dibolehkan. Sedangkan jika terlalu lama, tentu tidak sah, sebagaimana thaharah, shalat dan haji.8

Ø Menyegerakan membayar zakat

menyegerakan pembayaran zakat sebelum mencapai hawl dibolehkan apabila harta itu telah mencapai nisab, kecuali menurut Maliki, yang tidak membolehkanya. Jika seorang menyegerakan membayar zakat dan memberikanya kepada seorang fakir, kemudian orang fakir itu meninggal dunia atau menjadi kaya bukan karena zakat yang diterimanya, sebelum mencapai hawl, maka zakat tersebut ditarik kembali. Namun, Hanafi berpendapat bahwa zakat itu, tidak perlu diminta kembali.



v Jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya

Ø Zakat mata uang

Zakat mata uang atau zakat tabungan adalah zakat harta yang disimpan baik dalam bentuk tunai, rekening di Bank atau dalam bentuk yang lain. Harta ini tidak digunakan untuk mendapatkan penghasilan, tetapi sekedar untuk disimpan. Bila nilaiya bertambah lantaran disimpan di Bank, maka bunganya bukan hak miliknya. Bunga itu sendiri harus dikembalikan kepada kepentingan masyarakat banyak.[4] Syeikh Yusuf Al-Qardhawy menjelaskan mengenai ketentuan nisab uang ini, yaitu 85 gram emas dan 200 gram perak. Menutup pembahasan zakat uang ini, Yusuf Al-Qardhawy mengingatkan kembali bahwa setiap uang milik penuh yang sudah sampai senisab, bebas dari hutang, dan merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, maka wajiblah zakatnya 2.5 persen, yaitu sekali dalam setahun. [5]

Ø Zakat emas dan perak

Emas dan perak yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang berbentuk simpanan. Sedang bila berbebtuk perhiasan yang sering dipakai atau dikenakan tidak termasuk yang wajib dikeluarkan zakatnya. Karena harga emas umumnya stabil, tidak seperti harga mata uang, banyak orang yang menyimpan hartanya dalam bentuk emas. Apabila emas ini dijadikan dalam bentuk simpanan, maka wajib mengeluarkan zakatnya bila telah mencapai nisab dan haul.[6] Menurut empat madzhab emas dan perak wajib dizakati jika dalam bentuk batangan, begitu juga dalam bentuk uang. Mereka berbeda pendapat mengenai emas dan perak dalam bentuk perhiasan. Sebagian mewajibkan zakat, sebagian yang lain tidak mewajibkan. Imamiyah berpendapat: Wajib zakat atas emas dan perak jika berada dalam bentuk uang, dan tidak wajib dizakati jika berbentuk batangan dan perhiasan.[7]

v Zakat piutang

Baranagsiapa mempunyai piutang kepada orang lain yang telah mencapai batas nishab dan telah berlangsung selama satu tahun, dan juga telah memenuhi syarat-syarat yang telah dikemukakan terdahulu , maka mengenai ketentuan zakatnya terdapat rincian pendapat dari berbagai madzhab : Imama Hambali berpendapat: Zakat piutang itu wajib bila piutang tadi kuat dalam tanggungan orang yang berhutang, sekalipun dia bangkrut. Hanya saja, zakatnya tidak wajib dikeluarkan kecuali setelah piutang itu diterima. Maka ia wajib mengeluarkan piutang yang diterimanya itu secara langsung bila telah mencapai nishab, baik dengan sendirinyaatau digabungkan dengan harta yang ia miliki. Dan tidak ada kewajiban zakat untuk piutang yang tidak kuat dalam tanggungan orang yang berhutang. Maliki berpendapat: Barang siapa memiliki harta karena warisan atau hibah atau shadaqah, khulu’., atau karena menjual harta benda miliknya, misalnya menjual barang-barang (perabot) atau tanah.

Ø Zakat uang kertas dan surat-surat berharga

Zakat uang kertas atau biasa disebut dengan “Banknote” sebagian besar fuqaha’ memandang bahwa zakat uang kertas itu wajib, karena uang kertas (Banknote) kedudukanya sama dengan emas dan perak dalam penggunaanya, dan ia dapat dipertukarkan dengan perak tanpa ada kesulitan. Maka tidaklah masuk akal bagi orang yang memiliki kekayaan berupa uang kertas dimana nisab zakatnya dapat dipertukarkan dengan perak sementara ia tidak mau mengeluarkan zakatnya. Oleh karena itu, para Fuqaha’ dari tiga imam madzhab sepakat bahwa zakat uang kertas itu wajib hukumnya. Hanya Imam Hambali yang menyangkal pendapat ini. Menurut imam Syafi’i bahwa uang kertas (Banknote) nilai tukarnya sama dengan cek di bank, maka orang yang memiliki uang kertas berarti memiliki nilai (harga) uang tersebut sebagai piutang atas bank, dan bank (ibaratnya) sebagai pihak yang mempunyai hutang penuh, tetap (kuat) siap membayar kapan saja bila pihak yang mempunyai hutang memiliki sifat-sifst yang demikian itu berarti piutang tersebut wajib dizakati secara langsung. [8] Syafi’I, Maliki dan Hanafi berpendapat: Uang kertas tidak wajib dizakati, kecuali apabila telah memenuhi semua syarat, antara lain yaitu telah sampa nishabnya dan telah cukup berlalunya waktu satu tahun. Menurut Hambali: Uang kertas tidak wajib dizakati, kecuali jika ditukar dalam bentuk emas dan perak. Sedang Imamiyah berpendapat: Mewajibkan satu atau dua puluh persen (20%) dari sisa belanja satu tahun.[9] . Adapun menurut Syeikh Yusuf Al-Qhardhawy nisab untuk uang kertas dan surat-surat berharga ditetapkan setara dengan 85 gram emas, dengan pertimbangan nilai emasyang jauh lebih stabil dari pada perak.

Ø zakat perhiasan

Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban membayar zakat atas perhiasan yang dipakai oleh wanita muslimah, baik emas maupun perak. Menurut Ibnu Hazm: Wajib mengeluarkan zakat atas perhiasan yang dikenakan, seraya mengatkan: ‘Pengeluaran zakat atas perhiasan yang dipakai merupakan sesuatu yang diwajibkan apabila telah mencapai satu tahun”. Ia juga mengatakan;” Tidak diperbolehkan menggabungkan antara emas dan perak dalam hal pembayaran zakatnya. Juga tidak boleh mengeluarkan zakat hanya salah satu dari keduanya, baik itu perhiasan wanita maupaun laki-laki. Begitu jga terhadap perhiasan pedang, mushaf dan cincin. Sedang Imam Hanafi berpandapat: Wajib mengeluarkan zakat atas emas dan perak. Sedang Imam Maliki berpendapat: Jika perhiasn itu dikenakan oleh wanita muslimah atau milik lak-laki yang dipersiapkan sebagai mahar bagi calon isterinya, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya. Akan tetapi bila perhiasan itu dipersiapkan untuk kepentinganya sendiri, maka terdapat kewajiban zakat atasnya. Sedangkan atas perhiasan yang berbentuk pedang , mushaf dan cincin bagi laki-laki, maka dalam hal ini tidak ada kewajiban zakatnya”. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Hambali berpendapat; Perhiasan yang berbentuk pedang, mushaf dan yang sejenisnya tidak ada kewajiban zakat atasnya, meskipun terbuat dari emas dan perak.” Jika perhiasan itu dipakai atau dipinjamkan, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya. Sedangkan perhiasan yang sengaja disimpan maka ada kewajiban zakata atasnya, demikian menurut Al-Laits.[10]

Ø Zakat mahar pernikahan

Dalam zakat mahar pernikahan disyaratkan wajib milik penuh. Yakni, apakah mahar pernikahan sebelum berada ditangan sang wanita dianggap sebagai milik penuh atau tidak, dalam hal ini. Imam Hanafi berpendapat: Bahwa yang dimaksud milik penuh adalah harta milik yang ada ditangan. Bila seseorang memiliki sesuatu yang tidak ada di tanganya, maka tidak wajib dizakati. Seperti mas kawin seorang wanita sebelum ada di tangan, maka tidak wajib dizakati, Demikian juga tidak ada zakat bagi orang yang memegang harta yang bukan miliknya, seperti pengutang yang memegang harta orang lain. Imam Mliki berpendapat : Yang dimaksud milik penuh adalah bila seeorang mempunyai kewenagan untuk mempergunakan apa-apa yang dimilikinya itu. Maka tidak ada zakat bagi seorang hamba dengan segala macamnya dalam hal harta yang dimilikinya, karena pemiliknya itiu tidak sempurna, sekalipun ia hamba mukatab, sebab boleh jadi dengan mempergunakanya itu dapat menyebabkanya tidak mampu melunasi hutang penebusan atau pembebasan dari status hamba (dayn al-kitabah), sehingga statusnya akan kembali lagi sebagai seorang hamba. Sedang Imam Hambali berpendapat: bahwa yang dimaksud milik penuh adalah harta yang ada di tangan, tidak bersangkutan dengan dengan harta orang lain, ia mempunyai hak menggunakanya sesuai dengan keinginanya, dan hasil dari harta yang diperolehnya itu menjadi miliknya, bukan milik orang lain. Imam Syafi’I berpendapat: Persyaratan milik penuh mengecualikan hamba sahaya dan hamba mukatab, Keduanya ini tidak wajib zakat, adapun yang pertama yakni, hamba sahaya, karena ia tidk memiliki apa-apa; sedangkan yang kedua, yakni, hamba mukatab,karena pemilikanya itu lemah. Demikian juga persyaratan ini mengecualikan harta mubah milik umum, seperti tanaman yang tumbuh sendiri di tanah bebas tanpa ada orang yang menanamnya. Maka dalam hal ini tidak ada kewajiban menzakati Karena tidak ada yang memiliki, ini juga mengecualikan harta yang diwaqafkan kepada sesuatu yang tidakrtentu, maka tidak ada zakat. Seperti halnya apabila mewaqafkan kebun kepada masjid atau Ikatan(Organisasi), atau kepada kelompok yang tidak tentu, seperti orang-orang faqir miskin, maka tidak ada kewajiban zakat atas buah dan tanamanya.[11]

Ø Zakat rumah yang disewakan

Tidak ada kewajiban zakat untuk rumah tempat tinggal, pakaian badan, perabotan rumah, binatang untuk kendaraan, senjata yang dipakai dan bejan-bejana hias bila tidak terbuat dari emas dan perak. Demikian juga tidak ada kewajiban zakat untuk permata, seperti mutiara, batu delima (Arab: Yaqut), batu zabarjad (semacam batu zamrud) dan lain sebagainya, bila kesemuaanya ini tidak diperdagangkan, menurut kesepakatan semua madzhab. Demikian juga tidak ada kewajiban zakat untuk alat-alat industri secara mutlak, baik alat industrinya itu meninggalkan bekas pada barang yang diproduksinya atau tidak, kecuali menurut pendapat Hanafi. Karena Hanafi berpendapat: Bila alat-alat industri itu meninggalkan bekas pada produksinya, seperti industri celup, maka ia wajib dizakati, jika tidak maka tdak wajib pula. Demikian juga tidak ada kewajiban zakat untuk kitab-kitab keilmuan bila tidak untuk diperdagangkan, baik pemiliknya itu seorang ahli ilmu atau bukan, kecuali menurut Hanafi. Karena Hanafi berpendapat: Bila pemilik kitab-kitab keilmuan itu seorang ahli ilmu, maka kitab tersebut tidak wajib dizakati,. Jika bukan seorang ahli ilmu, maka wajib dizakati.10

Ø Zakat perniagaan

Harta perniagaaan wajib dizakati dengan syarat sebgaiman syarat-syarat dalam zakat emas dan perak, yakni islam, merdeka, milik penuh atau milik sempurna, sudah mencapai satu nishab dan sudah genap satu tahun, dan dalam hal ini Imam Syafi’i, Imam Hanafi, dan Imam Malik secara tegas mewajibkan zakat atas barang perniagaan. Mereka berlandaskan pada hadits dari Samurah bin Jundub, dimana ia menceritakan;

“Sesungguhnya Rasulallah memerintahkan kita untuk mengeluarakan zakat dari barang yang disediakan untuk dijual,” (HR. Abu Dawud, Daruquthni, Al-Baghawi dan Suyuti).



Ø Zakat tanaman dan buah-buahan

Dasar diwajibkanya zakat tanaman dan buah-buahan adalah firman Allah SWT sebagai berikut: وهو الذى أنشأ جنات معروشات وغير معروشات والزرع والنحل مختلفا

أكله والزيتون والرمان متشبها غير متثشابه كلوا من ثمره إذا أثمر وأتوا حقه يومحصاده ولاتشرفوا إنه لايحب المشرفين

"Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung-junjung dan yang tidak berjunjung-junjung, pohon kurma, tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa dan tidak sama. Nakanlah dari buahnya jika dia berbuah, dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya; Dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-An’am 141)[12]

Yang dimaksud tunaikan haknya dalam surat di atas adalah kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas hasil panennya.[13]

Ø Zakat hewan ternak

Dalam bahasa arab hewan ternak disebut Al-Ana’am. Kata ini juga merupakan salah satu nama surat dalam Al-Quran urutan ke -6. Dengan demikian zakat ini hanya terbatas pada

hewan ternak saja, sedangkan hewan paliharaan lainya yang tidak untuk diternak seperti anjing atau kucing dan burung peliharan tidak termasuk dalam zakat ini. Bahkan orang arab hanya membatasi hewan ternak hanya pada tiga jenis saja, yaitu unta, sapi(termasuk kerbau) dan kambing. Masing-masing dengan segala jenisnya.[14]

Ø Zakat rikaz

Rikaz secara bahasa bermakna:

المدفون في الأرض إذا خفي

“Sesuatu yang terpendam di dalam tanah dan tersembunyi”

Ada juga yang mengatakan bahwa makna rikaz itu sama dengan makna kanz (كنز), yaitu:

المال اللذى دفنه بنوا آدم في الأرض

“Harta yang dipendam manusia dalam tanah”

Sedangkan rikaz menurut syara’ bermakna

ما دفنه أهل الجاهليه

“Harta benda yang dipendam oleh orang-orang jahiliyah”

Jumhur ulama menetapkan bahwa yang dimaksud dengan rikaz adalah benda-benda berharga peninggalan zaman kerajaan-kerajaan di masa lalu yang tidak memeluk agama Islam. Benda-benda itu bisa saja berbentuk emas, perak atau benda lain yang berharta seperti guci, piring, marmer, logam, permata, berlian, kuningan, tembaga, ukiran, kayu dan lainnya. Semua itu termasuk jenis harta rikaz yang ada kewajiban zakatnya. Namun madzhab Asy-Syafi’iyah dalam pendapatnya yang baru (qaul jadid) hanya mengkhususkan emas atau perak saja yang termasuk rikaz. Di luar emas dan perak dalam pandangan mazhab ini bukan termasuk harta rikaz. Alasannya, karena rikaz termasuk al-mal al-mustafad yan didapat dari dalam bumi, sehingga harus ada ketentuan dalam urusan zakatnya.[15]

Ø Zakat hasil laut

Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Jumhur ulama berpendapat bahwa hasil laut, baik berupa mutiara, merjan (manik- manik), zabarjad (kristal untuk batu permata) maupun ikan, ikan paus, dan lain-lainnya, tidak wajib dizakati. Namun Imam Hanbali berpendapat bahwa: hasil laut wajib dikeluarkan zakatnya apabila sampai satu nisab. Pendapat terakhir ini nampaknya sangat sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang ini karena hasil ikan yang telah digarap oleh perusahaan-perusahaan besar dengan peralatan modern menghasilkan uang yang sangat banyak. Nisab ikan senilai 200 dirham (672 gram perak). Mengenai zakat hasil laut ini memang tidak ada landasannya yang tegas, sehingga di antara para ulama sendiri terjadi perbedaan pendapat. Namun jika dilihat dari penjelasan dalam surah al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”
Dari penjelasan ayat di ats jelas bahwa setiap usaha yang menghasilkan uang dan memenuhi syarat, baik nisab maupun haulnya, wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun waktu mengeluarkan zakatnya sama seperti tanaman, yaitu di saat hasil itu diperoleh.
Semua ulama sepakat bahwa segala sesuatu yang dihasilkan dari laut wajib zakat. Dan sebagian ulama berbeda pandangan tentang wajib tidaknya ikan dalam zakat. Namun perlu di garis bawahi untuk dijadikan acuan adalah pendapat Imam Ahmad yang juga memasukkan ikan dalam zakat, dan banyak ulama yang menganjurkan kita untuk mengikuti pendapat Imam Ahmad untuk lebih kehati-hatian. Artinya harta-harta yang kita dapat dari eksplorasi laut dapat bermanfaat bagi kita dan masyarakat dengan mewajibkan zakat. Dan yang paling penting adalah bagaimana sekiranya harta kita bersih dengan mengeluarkan zakat termasuk zakat ikan. [16]





DAFTAR PUSAKA

1. Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc, PDF

2. Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat , oleh H. Ahmad Sarwat Lc, PDF

3. FIQIH LIMA MADZHAB, oleh Muhammad Jawad Mughniyah.

4. Abdurrahaman Al-jaziri, Fiqh empat madhzhab, Jakarta: Darul Ulum Pres Syarat wajib zakat


























[1] . Lihat kamus al-mu’jam al- wasith jilid 1 hal. 398.


[2] . Lihat Fikhuz Zakat karya Syeikh Dr. Yusuf Al-Qardawi jilid 1 hal. 38.


[3] . Abdurrahaman Al-jaziri, Fiqh empat madhzhab, Jakarta: Darul Ulum Pres Syarat wajib zakat hal. 97-98


[4] . Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc. Hal: 42. pdf


[5] . Fiqih zakat kontemporer, oleh Syeikh Yusuf Al-Qhardhawy, hal: 14 pdf


[6] . Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc. Hal: 40 pdf


[7]. FIQIH LIMA MADZHAB, oleh Muhammad Jawad Mughniyah, hal: 185.




[8] . Abdurrahaman Al-jaziri, Fiqh empat madhzhab, Jakarta: Darul Ulum Pres Syarat wajib zakat hal. 128- 129.


[9] . FIQIH LIMA MADZHAB, oleh Muhammad Jawad Mughniyah, hal: 185.


[10] . Fiqih Wanita, edisi lengkap, Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Pustaka Al-Kautsar hal: 285-286.


[11] . Abdurrahaman Al-jaziri, Fiqh empat madhzhab, Jakarta: Darul Ulum Pres Syarat wajib zakat, hal: 99-101.




[12] . (Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc. Hal:24) PDF


[13] . Abdurrahaman Al-jaziri, Fiqh empat madhzhab, Jakarta: Darul Ulum Pres Syarat wajib zakat, hal: 148.


[14] . ( Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc. Hal:34) PDF


[15] . Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat , oleh H. Ahmad Sarwat Lc Hal; 182 PDF


16. ( Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc. Hal:34) PDF





































Sabtu, 26 Oktober 2013

Ulumul Hadits: Penerimaan dan Penyampaian Hadits



BAB I
PENDAHULUAN
a.      Latar belakang
            Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara lengkap di dalam buku-buku Ushulul Hadits. Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW. kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada di antara mereka yang mengatakan: Ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama. Untuk memahami ilmu hadits ulama telah memberikan konstribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits. Yang disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya  sampai masing- masing ilmu bisa berdiri sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan. Adapun terma-terma yang dibuat oleh ulama sebagai hasil penerapan ilmu-ilmu itu dan kaidah-kaidahnya serta hasil dan pengklasifikasian mereka terhadap hadits menjadi shahih, hasan, dha’if dan jenis-jenisnya, seperti mursal, mauquf, maqtu’ dan lain-lain. Adapun salah satu ilmu yang sangat penting yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits adalah tahammul wa ‘ada’ul hadist yang insyaallah akan kita bahas dalam makalah ini.
            Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam studi periwayatan hadist, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan oleh Nabi SAW. ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadist. Dalam makalah ini Insya Allah, kami juga akan mengupas seputaran periwayatan suatu hadits



BAB II
PEMBAHASAN
PENERIMAAN  DAN PENYAMPAIAN HADITS
a.      Penerimaan Hadits
1.      Penerimaan Anak-anak, orang kafir dan orang fasik
            Para ulama ahli hadits berbeda pendapat mengenai penerimaan hadist terhadap anak yang belum sampai umur (belum mukallaf), orang yang menerima hadist dalam keadaan kafir serta dalam keadaan fasik. Jumhur muhadditsin berpendapat bahwa seorang yang menerima hadist waktu masih kanak – kanak, atau masih dalam keadaan kafir atau dalam keadaan fasik dapat diterima periwayatannya setelah masing – masing dewasa, memeluk Islam dan bertobat. Adapun alasannya anak yang belum dewasa dapat dibenarkan menerima riwayat, ialah ijma'. Yakni seluruh umat Islam tidak ada yang membantah dan tidak ada yang membeda – bedakan riwayat – riwayat para sahabat yang diterima sebelum dan sesudah dewasa. Para sahabat yang menerima hadist sebelum dewasa diantaranya Al-Hasan, Al-Husein, Ibnu 'Abbas, Nu'man bin Basyir dan lainnya. Tetapi mereka memperselisihkan masalah batas minimal umur anak yang belum dewasa, yang dapat dibenarkan dalam penerimaan riwayat.
Beberapa pendapat tersebut diantaranya:
            Pertama, Al-Qadhi Iyad mengatakan bahwa batas minimal adalah 5 tahun, sebab pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa yang dia ingat serta mengingat – ingat yang dihafal. Pendapat ini didasarkan pada hadist riwayat Bukhari dari sahabat Mahmud bin Al-Rubai':

عَقَلْتُ مِنَ النَّبِي صلي الله عليه وسلم مَجَّةً مَجَّهَا فِي وجْهِي مِنْ دَلْوٍ و أنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِيْنَ"
”Saya ingat Nabi Saw. Meludah air yang diambilnya dari timba kemukaku, sedang pada saat itu aku berumur lima tahun"
Kedua, pendapat Al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang dimaksudkan adalah tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan keadaan sekitar.
Ketiga, pendapat Abu Abdullah Al-Zuba'i yang dikutip oleh Mundzier Suparta mengatakan bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadits pada usia 10 tahun. Sebab pada usia ini akal mereka sudah dianggap sempurna dalam arti bahwa mereka sudah mempunyai kemampuan untuk menghafal dan mengingat hafalannya serta sudah beranjak dewasa.
Keempat, berbeda dengan pendapat ulama syam memandang usia yang ideal bagi seorang untuk meriwayatkan hadist pada usia 30 tahun, dan ulama kufah berpendapat minimal berusia 20 tahun. Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan ketamyizan seseorang diantaranya situasi dan kondisi yang berbeda. Oleh karena itu ketamyizan seseorang bukan diukur dari usia tetapi didasarkan pada tingkat kemampuan menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar serta adanya kemampuan menghafal dan mengingat-ingat hafalannya. Mengenai penerimaan hadist oleh orang kafir jumhur ulama ahli hadist menganggap sah. Dalil yang digunakan oleh jumhur adalah hadist Jubair bin Muth'im :
أنَّهُ سَمِعَ النَّبِي صلي الله عليه وسلم يَقْرَأُ فِي المَغْرِبِ بِالطُّوْرِ
"Bahwa ia mendengar Nabi Muhammad membaca surat At-Thur pada shalat maghrib"
Jubair mendengar sabda Rasulullah SAW. tersebut pada saat tiba di Madinah untuk penyelesaian urusan tawanan perang Badar, dalam keadaan kafir. Yang akhirnya ia memeluk Islam. Imam Ibnu Hajar menerima riwayat orang fasik dengan dalil qiyas "babul-aula". Artinya, kalau penerimaan riwayat orang kafir yang disampaikan setelah memeluk agama Islam dapat diterima, apalagi penerimaan orang fasik yang disampaikan setelah ia bertobat dan diakui sebagai orang yang adil, tentu lebih dapat diterima. Kecuali riwayat orang gila yang diriwayatkan setelah sehat tetap tidak dapat diterima, lantaran diwaktu ia gila, hilanglah kesadarannya, hingga tidak lagi dikatakan sebagai orang yang dhabith.[1]
b.      Metode-metode penerimaan Hadits
            Para ulama ahli hadits memberikan definisi periwayatan dengan “ Membawa dan menyampaikan hadits dengan menyandarkanya kepada orang yanag menjadi sandaranya, dengan menggunakan bentuk kaliamt periwayatan”. Dengan definisi ini, orang yang tidak menyampaikan hadits yang dikuasainya  tidak dapat disebut sebagai periwayat. Demikian pula bila hadits yang diriwayatkanya tidak dia sandarkan kepada orang yang mengatakanya. Oleh karena itu, ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits, yakni:
1.      Kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits
2.      Kegiatan menyampaikan hadits kepada orang lain
3.      Ketika hadits disampaiakan, rangakaian periwayatnya disebutkan
Pengambilan atau penerimaan hadits ini oleh para ulama ahli hadits diistilahkan dengan at-tahammul, sedangkan penyampaianya kepada orang lain diistilahkan dengan al-ada.[2] Pada umumnya, ulama membagi metode (tata cara) periwayatan hadits kepada delapan macam , yakni sebagai berikut:
1.      Al-Sama’ min lafdzi Syaikh
Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan guru nya dengan cara didektekan baik dari hapalannya maupun dari tulisnnya. sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya tersebut. Menurut jumhur ahli hadist bahwa cara ini adalah cara yang paling tinggi tingkatannya. sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa as-sima’ yang dibarengi dengan al-kitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan lebih kuat. Karena terjamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibanding dengan cara lainnya. disamping itu, para sahabat juga menerima hadist Nabi dengan cara seperti ini. Termasuk dalam kategori sama’ juga, seseorang yang mendengarkan hadist dari syeikh dari balik sattar (semacam kain pembatas). Jumhur ulama membolehkannya karna para sahabat juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadist Rasulullah melalui para istri-istrinya. Menurut Al-Qadhi Iyad, yang dikutip oleh Al-Suyuthi, didalam cara ini para ulama tidak memperselisihkan kebolehan para rawi dalam meriwayatkannya menggunakan kata-kata.
Istilah-istilah yang dipakai dalam metode ini adalah:
حَدَّثَنَا                (seseorang telah menceritakan kepada kami)
أَخْبَرَنَا               (seseorang telah mengabarkan kepada kami)
أَنْبَأَنَا                  (seseorang telah memberitahukan kepada kami)
سَمِعْتُ فُلَانًا         (saya telah mendengar dari seseorang)           
قَالَ لَنَا فُلان          (seseorang telah berkata kepada kami)
ذَكَرَ لَنَا فلَانٌ         (seseorang telah menuturkan kepada kami)
2.      Al Qira’ah ‘ala Al Syaikh (‘Aradh Al Qira’ah)
            Yakni suatu cara seseorang membacakan hadist dihapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan ataupun orang lain, sedang sang guru mendengar atau menyimaknya baik sang guru hafal maupun tidak tetapi ia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau ia tergolong tsiqqah. DR. ‘Ajjaj Al-khatib dengan mengutip pendapat Imam Ahmad mensyaratkan orang yang membaca itu mengetahui dan memahami apa yang dibaca. Sementara syarat bagi Syeikh menurut Imam Haramain henda nya yang ahli dan teliti ketika mendengar atau menyimak dari apa yang dibacakan oleh Qori’, sehingga tahrif maupun tashif dapat terhindarkan[3]. Jika tidak demikian maka proses tahammul tidak sah. Para ulama sepakat bahwa cara seperti ini dianggap sah. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai derajat al-qira’ah. Diantara mereka Abu Hanifah, Ibnu Juraij, Sufyan Al-Tsauri menganggap bahwa al qira’ah lebih baik jika dibanding al-sama’, sebab dalam al-qira’ah jika bacaan guru salah murid tidak leluasa dalam menolak kesalahan. Tetapi dalam al-qira’ah bila bacaan murid salah guru segera membenarkannya. Imam Malik, Imam Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah menganggap bahwa antara al-qira’an dan al-sama’ mempunyai derajat yang sama. Sementara Ibnu Al-Shalah dan Imam Nawawi memandang bahwa al-sama’ lebih tinggi derajatnya dibanding al-qira’ah.
3.      Al-Ijazah
            Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk  meriwayatkan hadist atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu. Sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti:
أَجَزْتُ لَكَ أَنْ تَرْوِيَ عَنِّى (saya mengizinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku)
            Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadist. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadist dengan menggunakan ijazah ini dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan bahwa ijazah ini benar benar diingkari. Sedangkan ulama yang memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendaknya sang guru benar-benar mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah muridnya menyamai dengan yang lain, sehingga seolah olah naskah tersebut adalah naskah aslinya serta hendaknya guru yang memberi ijazah itu benar benar ahli ilmu. Al-Qhadi ‘iyad membagi ijazah ini dalam enam macam sedang ibnu Al-shalah menambah satu macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam. Tujuh macam ijazah tersebut adalah:
1. Seseorang guru mengijazahkan kepada seseorang tertentu atau kepada beberapa orang tertentu sebuah kitab atau beberapa kitab yang dia sebutkan kepada mereka. Al-ijazah seperti ini diperbolehkan menurut jumhur
2. Bentuk ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu, seperti “saya ijazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan dariku”. Cara seperti menurut jumhur ulama juga diperbolehkan.
3. Bentuk ijazah secara umum, seperti ungkapan “saya ijazahkan kepada kaum muslimin atau kepada orang orang yang ada (hadir)”
4. Bentuk Al-ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara seperti ini dianggap fasid (rusak)
5. Bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada. Seperti mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah
6. Bentuk ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan atau dibacakan kepada penerima ijazah. Seperti ungkapan “ saya ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku sesuatu yang akan kuperdengarkan kepadamu” cara seperti ini dianggap batal.
7. Bentuk al-ijazah al-mujaz, “saya ijazahkan kepadamu ijazahku” bentuk seperti ini diperbolehkan.


4. Al-Munawalah
            Yakni seseorang guru memberikan hadist atau beberapa hadist kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa al-munawalah ialah seseorang guru memberi kepada seseorang murid kitab asli yang didengar dari guru nya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocokkan. Sambil berkata “inilah hadist-hadist yang sudah saya dengar dari seseorang, maka Riwayatkanlah hadist ini dariku dan saya ijazahkan kepadamu untuk diriwayatkan”.
Al-munawalah mempunyai dua bentuk:
1. Al munawah dibarengi dengan ijazah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitabnya yang telah ia riwayatkan atau naskahnya yang telah dicocokkan atau beberapa hadist yang telah ditulis, lalu ia katakan kepada muridnya “ini riwayat saya, maka riwayatkanlah dariku”. Termasuk al-munawalah dalam bentuk ini ialah sang murid membacakan naskah yang diperoleh dari gurunya kemudian sang guru mengakui dan mengijazahkan kepada muridnya untuk diriwayatkan darinya. cara ini menurut Al-Qadhi ‘Iyad termasuk periwayatan yang dianggap sah oleh para ulama ahli hadist. Hadist-hadist yang berdasar atas munawalah bersama ijazah biasanya menggunakan redaksi “seseorang telah memberitahukan kepada ku/kami”.
2. Al munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada muridnya ”ini hadist saya” “inilah adalah hasil pendengaranku atau dari periwayatanku” dan tidak mengatakan “riwayatkanlah dariku atau saya ijazahkan kepadamu”. Menurut kebanyakan ulama al-munawalah dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. Hadist yang diriwayatkan berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya menggunakan redaksi “ seseorang telah memberikan kepada ku/kami”
Lafadz lafadz yang digunakan untuk memberikan munawalah dibarengi dengan ijazah adalah:
هَذَا سَمَاعِى أَوْ رِوَايَتِى عَنْ فُلَانٍ فَارْوِيْهِ
“Ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang, riwayatkanlah!”
Lafadz Munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah:
هَذَا سَمَاعِى أَوْ مِنْ رِوَايَتِىIni adalah hasil pendengaran ku atau berasal dari periwayatan ku”
Yang diucapkan bersama sama dengan memberikan naskah atau salinan kepada muridnya. Lafadz yang digunakan oleh Rawi dalam meriwayatkan hadist atas dasar:
Munawalah bersama ijazah,
أَنْبَأَنِى , أَنْبَأَنَا   (seseorang telah memberitahukan kepada ku/kami)
Munawalah tidak bersama ijazah,
نَاوِلْنِى, نَاوِلْنَا   (seseorang telah memberikan kepada ku/kami)
5. Al Mukatabah
            Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadistnya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
Al-mukatabah ada dua macam:
1. Al-mukatabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu sewaktu sang guru menuliskan beberapa hadist untuk diberikan kepada muridnya disertai dengan kata kata “ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau “saya ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan al-mukatabah dalam bentuk ini sama halnya dengan al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni dapat diterima.
Contoh:
أَجَزْتُ لَكَ مَا كَتَبْتُهُ إِلَيْكَ, أَجَزْتُ مَا كَتبْتُ بِهِ إِلَيْكَ “ku izinkan apa apa yang telah aku tulis kepad mu”
2. Al-mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah, yakni guru memberikan hadist untuk diberikan kepada muridnya dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkan. Al-mukatabah dalam bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama Syafi’iyah dan ulama Ushul menganggap sah periwayatan dengan cara ini. Sedangkan Al-Mawardi menganggap tidak sah.
Contoh:
قَالَ حَدَّثَنَا فُلَانٌ        “telah memberitakan seseorang kepadaku”


6. Al-I’lam
            Yakni pemberitahuan seseorang kepada murid, bahwa kitab atau hadist yang diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberi izin kepada muridnya untuk meriwayatkannya. sebagian ulama ahli Ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Al-Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadist dengan cara ini. Karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan pendapat ulama ahli hadist, ahli fiqh dan ahli Ushul memperbolehkannya.
Contoh: أَعْلَمَنِى فُلَانٌ قَالَ حَدَّثَنَا    “seseorang telah memberitahukan kepada ku: “telah berkata kepada kami…”
7. Al Washiyat
            Yakni seorang guru ketika akan meninggal atau berpergian meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadist atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau bepergian. Periwayatan hadist dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah. Sementara Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadist yang diriwayatkannya atas jalan wasiat ini. Orang yang diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadist dari sipemberi wasiat dengan redaksi 
حَدَّثَنِى فُلَانٌ بِكَذَا   (seseorang telah memberitahukan kepadaku begini), karena si penerima wasiat tidak bertemu dengannya.
Tetapi lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadist berdasarkan wasiat seperti:
أَوْصَى إِلَيَّ فُلَانٌ بِكِتَابٍ قَالَ فِيْهِ حَدَّثَنَا .....  “seseorang telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab itu: “telah bercita kepadamu……”
8. Al Wijadah
            Yakni, seseorang memperoleh hadist orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadist dan tidak melalui cara al-sama’, al-ijazah, ataupun al-munawalah. Para ulama berselisih pendapat mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadist dan ahli fiqh dari mazhab Malikiyah tidak memperbolehkan periwayatan hadist dengan cara ini. Imam Syafi’i dan segolongan pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadist yang periwayatannya melalui cara ini. Ibnu al-Shalah mengatakan, bahwa sebagian ulama muhaqqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebenarannya.
Lafadz lafadz yang digunakan, ialah seperti:
قَرَأْتُ بِخَطِّ فُلَانٍ   (saya telah membaca khath seseorang)[4]
c.       Penyampaian Hadits
            Sebagaiman yang telah kita tulis ketahui, bahwa al-ada` ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadist kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menuntut pertanggung jawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadist juga sangat tergantung padanya. Mengingat hal hal seperti ini, jumhur ahli hadist, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadist. Yakni sebagai berikut:
Islam
            Pada waktu meriwayatkan suatu hadist, maka seorang perawi haruslah seorang muslim. Dan menurut ijma’, periwayatan orang kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja, kita disuruh bertawakuf, apalagi perawi yang kafir, kaitannya dengan masalah ini bisa kita dasarkan kepada firman Allah:
يَا أَيُّهَا الذِيْنَ أَمَنُوْا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَيَإٍ  فَتَبَيَّنُوْا أَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ (الحجارة:6)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuata mu itu. (Al Hujurat 49: 6)
Baligh
            Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadist, walau penerimanya belum baligh. Hal ini didasarkan pada hadist Rasulullah:
رُفِع القَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ المَجْنُوْنِ المَغْلُوْبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَفِيْقَ وَعَنِ النَائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ (رواه أبو دود والنسائ)
Artinya: Hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan , yaitu, orang gila sampai ia sembuh, orang yang tidur sampai bangun, dan anak anak sampai ia mimpi. (H.R Abu Daud dan Nasai’)
‘Adalah
            Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai jiwa tersebut, tetap taqwa menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal mubah tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadiannya.
Dhabit
Dhabit ialah:
تَيَقُظُ الرَاوِى حِيْنَ تَحَمَّلَهُ وَ فَهْمُهُ لِمَا سَمِعَهُ وَ حَفِظَهُ لِذَالِكَ مِنْ وَقْتِ التَحَمُلِ إِلَى وَقْتِ الأَدَاءِ
“teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadist yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya”
Cara mengetahui kedhabitan perawi dengan jalan I’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan. Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat yang sebagaimana disebutkan diatas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadist yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadist-hadist yang lebih kuat serta tidak bertantangan dengan ayat-ayat Al Qur’an.
d.      Peristiwa-peristiwa Penyampaian Hadits
            Sebaimana yang telah kita ketahui, bahwa hadist Rasul, ada yang berbentuk sabda, perbuatan, hal ihwal dan taqrir, dan hadist hadist beliau disampaikan dalam beragam peristiwa diantaranya:
1.      Pada majlis-majlis Rasulullah
            Yakni, Rasulullah secara khusus dan teratur mengadakan majlis-majlis yang berhubungan dengan kegiatan pengajaran islam.Sedangkan buku hanya khusus untuk kaum pria saja tetapi ada juga untuk kaum wanita. Pada majlis inilah para saabat menerima hadist yang disampaikan Rasulullah, kemudian setelah pengajian para sahabat kembali mengulang atau menghafalnya kembali. Anas bin Malik mengatakan: “kami berada disisi Rasulullah kami mendengengarkan hadist dari beliau, apabila telah selesai, maka kami mempelajarinya ketika kembali dan menghapalnya”.
2.      Pada peristiwa yang Rasulullah mengalaminya kemudian beliau menerangkan hukum nya.
            Adakalanya Rasulullah menyaksikan suatu peristiawa kemudian beliau menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa itu. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa suatu ketika Rasulullah lewat dimuka seorang saudagar bahan makanan. Rasullah bertanya bagaimana barang itu dijual, kemudian penjual itu menjelaskannya. Rasulullah lalu menyuruh penjual untuk memasukkan tangannya, maka penjual pun memasukkannya sehinngah tampak bahwa bagian bawah barang itu dicampur air. Menyaksikan hal demikian Rasulullah bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ (رواه:أحمد)
“bukanlah dari golongan kami, siapa yang menipu” (H.R Ahmad)
3.      Pada peristiwa yang dialami oleh kaum muslimin kemudian meraka menanyakan hukumnya kepada Rasulullah.
            Adakalanya para sahabat mengalami suatu peristiwa yang berhubungan dengan dirinya, dan adakala berhubungan dengan orang lain. Dan untuk menenangkan bathinnya, maka mereka menanyakan hal yang mereka alami kepada Rasulullah. Sehingga beliau mengeluarkan atau memberikan fatwa mengenai hukumnya.
4.      Pada peristiwa yang dialami langsung oleh para sahabat terhadap apa yang terjadi atau dilakukan Rasulullah.
            Banyak sekali yang menyangkut hal ini. Karena Rasulullah dan para sahabat hidup dalam kebersamaan di keseharian mereka. Contohnya yang berhubungan dengan ibadah puasa, sholat, sedekah, haji dan lain sebagainya.
e.       Cara-cara Sahabat Menerima dan Menyampaikan Hadits
            Jumlah sahabat Rasulullah begitu banyak, sehingga sangat memungkinkan bagi beliau untuk mentrasfer ilmu kepada mereka, tetapi karena keanekaragaman kesibukan maka cara mereka menerima hadistpun tidak sama. Berikut cara-cara sahabat dalam menerima hadist diantara nya:
1.      Secara langsung dari Nabi
            Maksudnya ialah mereka secara langsung mendengar, melihat, atau menyaksiakan tentang apa yang dilakukan, disabdakan, atau berhubungan dengan Rasulullah. Hal demikian di alami sahabat saat di pengajian Rasul atau dengan mengajukan pertanyaan kepada Rasul.
2.      Secara tidak langsung dari nabi.
            Maksudnya ialah mereka secara tidak langsung melihat, mendengar, atau mengsaksikan tentang apa yang dilakukan, disabdakan, atau yang berhubungan dengan Rasul. Para sahabat yang mengalami hal seperti ini karena:
            a. Dalam keadaan sibuk untuk mengurus keperluan hidupnya atau kesibukan lainnya. mereka terkadang tidak sempat ikut. Tetapi walaupun mereka tidak ikut, mereka dapat mengetahui hadist secara tidak langsung, dengan bertanya kepada sahabat yang hadir.
            b. Tempat tinggal yang berjauhan dengan tempat tinggal Nabi. Sudah pasti tidak semua sahabat rumahnya berdekatan dengan Nabi. Dan jauhnya tempat tidak menjadi penghalang untunk mereka mempelajari sunnah Nabi
            c. Merasa malu untuk bertanya langsung kepada Nabi, karena masalah yang ditanyakan kepada Nabi menyangkut masalah yang sangat pribadi. Sahabat yang memiliki masalah demikian biasanya minta tolong kepada sahabat lain untuk menanyakan mashalahnya kepada Nabi. Jadi orang yang tidak bertanya itu, menerima jawaban dari Nabi berupa hadist, secara tidak langsung.
            d. Nabi sendiri sengaja minta tolong kepada sahabat ( biasanya kepada istri beliau sendiri) untuk mengemukakan masah masalah khusus. Misalnya yang berhubungn dengan soal kewanitaan. Dengan demikian peneriamaan hadist seperti itu diterima para sahabat secara tidak langsung.



Adapun tentang penyampaian hadis oleh para sahabat, dilakukan dengan dua cara:
1.      Secara lafdziyah
            Yakni, menurut lafazd yang mereka terima dari Nabi. Para sahabat yang dapat melaksanakan dengan cara ini karena selain mereka mempunyai ingatan yang kuat, mereka selalu mengulangi hafalan-hafalannya dengan ketelitian. Periwayatan hadist dengan cara ini hanya untuk hadis qauliyah saja, sedang hadis fi’liyah dan taqririyah tidak dapat disampaikan secara lafdziyah.
2.      Secara maknawy
            Hadits yang disampaikan sahabat dengan maknanya saja, tidak menurut lafadz yang disampaikan Nabi.  Jadi, bahasa dan lafadznya disususn oleh sahabat, sedang isinya berasal dari Nabi.














BAB III
PENUTUP
            Tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Sedangkan Al-‘Ada adalah adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits.
            Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Ulama yang membolehkan juga masih berbeda pendapat mengenai batas usia anak boleh diterima periwayatannya, pendapat pertama mengatakan lima tahun sedangkan pendapat yang kedua mengatakan tamyiz.
            Syarat kelayakan al-Ada adalah: Islam, Baligh, Sifat Adil, Dhabt. Sedangkan metode dalam tahammul al-ada’ adalah melalui beberapa jalan yaitu as-sima’, al-Qira’ah ‘ala Syaikh, al-Ijazah, al-Munawalah, al-Mukatabah, I’lam asy-Syaikh, al-Washiyyah, al-Wijadah.

DAFTAR PUSTAKA
1.      DR. M. ‘Ajaj Al- Khatib, USHUL AL-HADITS (Pokok-pokok Ilmu Hadits) Penerjmah: Drs. H. M Qodirun Nur dan  Ahmad Musyafiq, S. Ag. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998). Cet. Ke- 1
2.       Drs. Abdullah Karim, M. Ag, Membahas ilmu-ilmu hadits, (Kalimantan: CV Haga Jaya Offset, 2005), Cet. Ke-1
3.      Drs. Fatchur Rahman, IKHTISHAR MUSHTALAHUL HADITS( Bandung: PT Al-Ma’arif, 1995) Cet. Ke- 8







[1] . ‘Ajaj Al- Khatib, USHUL AL-HADITS (Pokok-pokok Ilmu Hadits) Penerjmah: H. M Qodirun Nur dan  Ahmad Musyafiq,  Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998. Cet. Ke- 1, hal. 201.

[2] . Abdullah Karim, Membahas ilmu-ilmu hadits, (Kalimantan: CV Haga Jaya Offset, 2005), Cet. Ke-1, hlm. 37-41
[3] . Ilmu At-tashif wa at-tahrif adalah ilmu yang berusaha menerangkan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau syakalnya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf). Al-Hafizh Ibnu Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu ilmu at-tashif dan ilmu at-tahrif. Sebaliknya Ibnu Shalah dan pengikutnya menggabungkan kedua ilmu ini menjadi satu ilmu. Menurutnya, ilmu ini merupakan satu disiplin ilmu bernilai tinggi yang dapat membangkitkan semangat para ahli hafalan (huffadz). Hal ini karena hafalan para ulama terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengarannya yang diterima dari orang lain.

[4] . Fatchur Rahman, IKHTISHAR MUSHTALAHUL HADITS( Bandung: PT Al-Ma’arif, 1995) Cet. Ke- 8 hlm. 212-219.