v
Definisi zakat
Zakat Secara bahasa adalah bertambah, suci, tumbuh, barakah[1]. Sebagaimana firman Allah SWT:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا )اشمس(9 :
“ Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya” (Qs. Assams: 9)
Sedang secara syara’ zakat adalah bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah wajibkan untuk diberikan kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak menerima zakat)[2]. Ini berarti orang-orang yang memiliki nisab zakat wajib memberikan kadar tertentu dari harta nya kepada orang-orang miskin yang semisal dari mereka yang berhak menerima zakat.
Ø Hukuman bagi orang yang enggan mengeluarkan zakat
Barangsiapa yang menolak untuk mengeluarkan zakat karena kikir, maka zakat harus diambil darinya secara paksa dan orang itu dikenai hukum jera ( ta’zir ). Demikian menurut kesepakatan empat imam madzhab Syafi’I berpendapat dalam qaul qadim : harus diambil sebagian hartanya disamping harta yang wajib dikeluarkan . hanafi : orang itu harus dipenjarakan hingga ia mengeluarkan zakat, tetapi tidak
diambil hartanya secara paksa . Adapun orang yang menghindari kewajiban zakat, seperti memberikan sebagian hartanya atau menjualnya dan membelinya kembali sebelum setahun, maka gugurlah kewajiban zakat darinya, tetapi ia dipandang telah berbuat durhaka atau kejahatan. Demikian menurut pendapat hanafi dan syafi’i. sedangkan maliki dan hambali berpendapat : tidak gugur kewajiban zakatnya. 2
Ø Orang yang diwajibkan mengeluarkan zakat
Zakat adalah suatu bentuk ibadah yang unik dan spesifik. Meskipun secara hakikatnya merupakan ibadah sosial yang intinya memberikan bantuan kepada si miskin namun ada ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan denganya. para imam madzhab sepakat bahwa zakat diwajibkan kepada orang islam yang merdeka, baligh, dan berakal sehat. Mereka berbeda pendapat tentang kewajiban zakat bagi budak mukatab. Hianafi berpendapat : wajib zakat sepersepuluh atas tumbuhan-tumbuhan milik mukatab , tidak pada hartanya yanh lain. Ats-tsawri berpendapat, “ wajib zakat atas mukatab secara mutlak .” Maliki, syafi’I, dan Hambali berpendapat: tidak diwajibkan zakat atas budak mukatab. Orang murtad yang semasa keislamanya telah diwajibkan membayar zakat, maka kewajiban tersebut tidak gugur lantaran kemurtadannya. Demikian menurut tiga imam mazhab. Sedang Hanafi berpendapat: kewajiban tersebut gugur.. 4
Ø Hukum zakat pada harta anak-anak dan orang gila
Hukum zakat pada harta keduanya(anak- anak dan orang gila) Menurut Imam Syafi’i: wajib, begitu juga menurut Imam Abi Al-Hasan bin Ahmad bin Muhammad Ja’far al-Naghdadiyyi Al-Qadduriyyi. Hanafi berpendapat: Bahwa harta anak kecil dan harta orang gila tidak wajib dizakati, sedang bagi walinya tidak dituntut untuk mengeluarkan zakat dari harta keduanya. Karena zakat merupakan “Ibadah Mahdhah” (murni). Sedangkan anak kecil dan orang gila tidak diperintah untuk menunaikan zakat, dan yang wajib pada hartanya hanyalah untuk kepentingan denda dan nafkah, karena keduanya itu termasuk hak semua orang; juga pada hartanya wajib dikeluarkan 10 persen dan zakat fitrah, karena dalam hal ini mengandung pengertian biaya belanja. Maka ia juga termasuk hak semua orang. Hukum orang yang kurang waras pikiranya (gila) sama dengan hukum anak kecil, oleh karena itu maka tidak ada kewajiban zakat atas keduanya( anak-anak dan orang gila) .[3] Imamiyah berpendapat: Berakal dan baligh tidak menjadi syarat wajib zakat, maka dari itu harta anak-anak dan orang gila wajib dizakati, walinya harus mengeluarkannya.
Ø Hukum bagi seseorang yang memiliki harta yang mencapai nisab tapi masih mempunyai hutang
orang yang mempunyai piutang yang banyaknya sampai satu nisab dan nisabnya telah sampai satu tahun serta memenuhi syarat-syarat yang mewajibkan zakat, juga keadaan piutang itu telah tetap, baik piutang itu dari jenis emas atau perak maupun harta perniagaan. Piutang yang seperti itu wajib dizakati dan wajib mengeluarkan zakatnya bila mungkin membayarnya.Kalau yang berhutag itu kaya, dapat membayar sekiranya yang berpiutang minta dibayar , maka yang berpiutang wajib membayar zakatnya ketika itu. Tetapi kalau berpiutang miskin, belum dapat membayar, maka zakatnya tidak wajib dabayar ketika itu, hanya wajib dibayar sewaktu ia sudah dapat membayar, walaupun untuk beberapa tahun ( beberapa kali bayaran ).6dalam hal ini, Syafi’I mempunyai dua pendapat. Pertama, dalam qaul jadid dan yang kuat: tidak gugur. Kedua. Dalam qaul qadim: gugur. Pendapat qadim syafi’I sesuai dengan pendapat hanafi, tetapi kewajiban membayar sepersepuluhnya tidak gugur. Hambali juga memiliki dua pendapat tentang harta konkret. Pendapat termashur diantaranya: utang tidak menggugurkan kewajiban zakat jika harta itu berupa benda konkret.
Sementara itu, maliki berpendapat: utang menggugurkan kewajiban zakat atas emes dan perak, tetapi tidak atas binatag ternak.
Ø Orang yang meninggal dunia tapi masih mempunyai tanggungan membayar zakat
orang yang berkewajiban membayar zakat, lalu ia mati sebelum melaksanakannya , maka zakat itu diambilkan dari harta peninggalanya. Demikian menurut tiga imam mazhab. Sementara iu, Imam Hanafi berpendapat: kewajibanya gugur disebabkan kematianya. Akan tetapi, jika ia berwasiat tentang kewajiban tersebut, maka zakatnya diambil dari sepertiga hartanya. Syafi’I dan Hambali berpendapat: kewajibanya tidak gugur. Sedangkan menurut maliki: jika ia tidak mempedulikan kewajiban zakatnya hingga melampaui masa setahun atau beberapa tahun, maka hal itu menjadi tanggunganya dan berarti ia telah durhaka kepada Allah swt. Selain itu, semua hartanya menjadi hak ahli waris. Sementara itu, zakat yang menjadi tanggunganya berubah menjadi hutang terhadap orang yang tidak jelas. Oleh karena itu, tanggungan tersebut tidak dapat dibayar dengan ahli warisnya. Kalau ia mewasiatkan untuk itu, maka diambil sepertiga, dari peninggalanya terlebih dahulu sebelum wasiat lainya dipenuhi. Jika ia tidak membayarkanya hingga ia mati maka zakat harus dikeluarkan dari keseluruhan hartanya. 7
Ø Niat merupakan syarat membayar zakat
Empat mazhab sepakat bahwa pembayaran zakat tidak sah kecuali disertai dengan niat. Al-awza’i berpendapat bahwa dalam mengeluarkan zakat tidak diperlukan niat. Para imam madzhab berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya mendahulukan niat dari pada pembayaranya. Hanafi berpendapat: tidak boleh tidak., harus ada niat bersamaan dengan pembayaran atau pemisahan kadar yang wajib dibayarkan. Maliki dan syafi’I berpendapat: sahnya pembayaran zakat memerlukan kesertaan niat. Sementara itu, Hambali berpendapat: hal demikian adalah mustahab. Oleh sebab itu, jika sekiranya niat itu lebih sedikit, dibolehkan. Sedangkan jika terlalu lama, tentu tidak sah, sebagaimana thaharah, shalat dan haji.8
Ø Menyegerakan membayar zakat
menyegerakan pembayaran zakat sebelum mencapai hawl dibolehkan apabila harta itu telah mencapai nisab, kecuali menurut Maliki, yang tidak membolehkanya. Jika seorang menyegerakan membayar zakat dan memberikanya kepada seorang fakir, kemudian orang fakir itu meninggal dunia atau menjadi kaya bukan karena zakat yang diterimanya, sebelum mencapai hawl, maka zakat tersebut ditarik kembali. Namun, Hanafi berpendapat bahwa zakat itu, tidak perlu diminta kembali.
v Jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya
Ø Zakat mata uang
Zakat mata uang atau zakat tabungan adalah zakat harta yang disimpan baik dalam bentuk tunai, rekening di Bank atau dalam bentuk yang lain. Harta ini tidak digunakan untuk mendapatkan penghasilan, tetapi sekedar untuk disimpan. Bila nilaiya bertambah lantaran disimpan di Bank, maka bunganya bukan hak miliknya. Bunga itu sendiri harus dikembalikan kepada kepentingan masyarakat banyak.[4] Syeikh Yusuf Al-Qardhawy menjelaskan mengenai ketentuan nisab uang ini, yaitu 85 gram emas dan 200 gram perak. Menutup pembahasan zakat uang ini, Yusuf Al-Qardhawy mengingatkan kembali bahwa setiap uang milik penuh yang sudah sampai senisab, bebas dari hutang, dan merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, maka wajiblah zakatnya 2.5 persen, yaitu sekali dalam setahun. [5]
Ø Zakat emas dan perak
Emas dan perak yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang berbentuk simpanan. Sedang bila berbebtuk perhiasan yang sering dipakai atau dikenakan tidak termasuk yang wajib dikeluarkan zakatnya. Karena harga emas umumnya stabil, tidak seperti harga mata uang, banyak orang yang menyimpan hartanya dalam bentuk emas. Apabila emas ini dijadikan dalam bentuk simpanan, maka wajib mengeluarkan zakatnya bila telah mencapai nisab dan haul.[6] Menurut empat madzhab emas dan perak wajib dizakati jika dalam bentuk batangan, begitu juga dalam bentuk uang. Mereka berbeda pendapat mengenai emas dan perak dalam bentuk perhiasan. Sebagian mewajibkan zakat, sebagian yang lain tidak mewajibkan. Imamiyah berpendapat: Wajib zakat atas emas dan perak jika berada dalam bentuk uang, dan tidak wajib dizakati jika berbentuk batangan dan perhiasan.[7]
v Zakat piutang
Baranagsiapa mempunyai piutang kepada orang lain yang telah mencapai batas nishab dan telah berlangsung selama satu tahun, dan juga telah memenuhi syarat-syarat yang telah dikemukakan terdahulu , maka mengenai ketentuan zakatnya terdapat rincian pendapat dari berbagai madzhab : Imama Hambali berpendapat: Zakat piutang itu wajib bila piutang tadi kuat dalam tanggungan orang yang berhutang, sekalipun dia bangkrut. Hanya saja, zakatnya tidak wajib dikeluarkan kecuali setelah piutang itu diterima. Maka ia wajib mengeluarkan piutang yang diterimanya itu secara langsung bila telah mencapai nishab, baik dengan sendirinyaatau digabungkan dengan harta yang ia miliki. Dan tidak ada kewajiban zakat untuk piutang yang tidak kuat dalam tanggungan orang yang berhutang. Maliki berpendapat: Barang siapa memiliki harta karena warisan atau hibah atau shadaqah, khulu’., atau karena menjual harta benda miliknya, misalnya menjual barang-barang (perabot) atau tanah.
Ø Zakat uang kertas dan surat-surat berharga
Zakat uang kertas atau biasa disebut dengan “Banknote” sebagian besar fuqaha’ memandang bahwa zakat uang kertas itu wajib, karena uang kertas (Banknote) kedudukanya sama dengan emas dan perak dalam penggunaanya, dan ia dapat dipertukarkan dengan perak tanpa ada kesulitan. Maka tidaklah masuk akal bagi orang yang memiliki kekayaan berupa uang kertas dimana nisab zakatnya dapat dipertukarkan dengan perak sementara ia tidak mau mengeluarkan zakatnya. Oleh karena itu, para Fuqaha’ dari tiga imam madzhab sepakat bahwa zakat uang kertas itu wajib hukumnya. Hanya Imam Hambali yang menyangkal pendapat ini. Menurut imam Syafi’i bahwa uang kertas (Banknote) nilai tukarnya sama dengan cek di bank, maka orang yang memiliki uang kertas berarti memiliki nilai (harga) uang tersebut sebagai piutang atas bank, dan bank (ibaratnya) sebagai pihak yang mempunyai hutang penuh, tetap (kuat) siap membayar kapan saja bila pihak yang mempunyai hutang memiliki sifat-sifst yang demikian itu berarti piutang tersebut wajib dizakati secara langsung. [8] Syafi’I, Maliki dan Hanafi berpendapat: Uang kertas tidak wajib dizakati, kecuali apabila telah memenuhi semua syarat, antara lain yaitu telah sampa nishabnya dan telah cukup berlalunya waktu satu tahun. Menurut Hambali: Uang kertas tidak wajib dizakati, kecuali jika ditukar dalam bentuk emas dan perak. Sedang Imamiyah berpendapat: Mewajibkan satu atau dua puluh persen (20%) dari sisa belanja satu tahun.[9] . Adapun menurut Syeikh Yusuf Al-Qhardhawy nisab untuk uang kertas dan surat-surat berharga ditetapkan setara dengan 85 gram emas, dengan pertimbangan nilai emasyang jauh lebih stabil dari pada perak.
Ø zakat perhiasan
Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban membayar zakat atas perhiasan yang dipakai oleh wanita muslimah, baik emas maupun perak. Menurut Ibnu Hazm: Wajib mengeluarkan zakat atas perhiasan yang dikenakan, seraya mengatkan: ‘Pengeluaran zakat atas perhiasan yang dipakai merupakan sesuatu yang diwajibkan apabila telah mencapai satu tahun”. Ia juga mengatakan;” Tidak diperbolehkan menggabungkan antara emas dan perak dalam hal pembayaran zakatnya. Juga tidak boleh mengeluarkan zakat hanya salah satu dari keduanya, baik itu perhiasan wanita maupaun laki-laki. Begitu jga terhadap perhiasan pedang, mushaf dan cincin. Sedang Imam Hanafi berpandapat: Wajib mengeluarkan zakat atas emas dan perak. Sedang Imam Maliki berpendapat: Jika perhiasn itu dikenakan oleh wanita muslimah atau milik lak-laki yang dipersiapkan sebagai mahar bagi calon isterinya, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya. Akan tetapi bila perhiasan itu dipersiapkan untuk kepentinganya sendiri, maka terdapat kewajiban zakat atasnya. Sedangkan atas perhiasan yang berbentuk pedang , mushaf dan cincin bagi laki-laki, maka dalam hal ini tidak ada kewajiban zakatnya”. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Hambali berpendapat; Perhiasan yang berbentuk pedang, mushaf dan yang sejenisnya tidak ada kewajiban zakat atasnya, meskipun terbuat dari emas dan perak.” Jika perhiasan itu dipakai atau dipinjamkan, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya. Sedangkan perhiasan yang sengaja disimpan maka ada kewajiban zakata atasnya, demikian menurut Al-Laits.[10]
Ø Zakat mahar pernikahan
Dalam zakat mahar pernikahan disyaratkan wajib milik penuh. Yakni, apakah mahar pernikahan sebelum berada ditangan sang wanita dianggap sebagai milik penuh atau tidak, dalam hal ini. Imam Hanafi berpendapat: Bahwa yang dimaksud milik penuh adalah harta milik yang ada ditangan. Bila seseorang memiliki sesuatu yang tidak ada di tanganya, maka tidak wajib dizakati. Seperti mas kawin seorang wanita sebelum ada di tangan, maka tidak wajib dizakati, Demikian juga tidak ada zakat bagi orang yang memegang harta yang bukan miliknya, seperti pengutang yang memegang harta orang lain. Imam Mliki berpendapat : Yang dimaksud milik penuh adalah bila seeorang mempunyai kewenagan untuk mempergunakan apa-apa yang dimilikinya itu. Maka tidak ada zakat bagi seorang hamba dengan segala macamnya dalam hal harta yang dimilikinya, karena pemiliknya itiu tidak sempurna, sekalipun ia hamba mukatab, sebab boleh jadi dengan mempergunakanya itu dapat menyebabkanya tidak mampu melunasi hutang penebusan atau pembebasan dari status hamba (dayn al-kitabah), sehingga statusnya akan kembali lagi sebagai seorang hamba. Sedang Imam Hambali berpendapat: bahwa yang dimaksud milik penuh adalah harta yang ada di tangan, tidak bersangkutan dengan dengan harta orang lain, ia mempunyai hak menggunakanya sesuai dengan keinginanya, dan hasil dari harta yang diperolehnya itu menjadi miliknya, bukan milik orang lain. Imam Syafi’I berpendapat: Persyaratan milik penuh mengecualikan hamba sahaya dan hamba mukatab, Keduanya ini tidak wajib zakat, adapun yang pertama yakni, hamba sahaya, karena ia tidk memiliki apa-apa; sedangkan yang kedua, yakni, hamba mukatab,karena pemilikanya itu lemah. Demikian juga persyaratan ini mengecualikan harta mubah milik umum, seperti tanaman yang tumbuh sendiri di tanah bebas tanpa ada orang yang menanamnya. Maka dalam hal ini tidak ada kewajiban menzakati Karena tidak ada yang memiliki, ini juga mengecualikan harta yang diwaqafkan kepada sesuatu yang tidakrtentu, maka tidak ada zakat. Seperti halnya apabila mewaqafkan kebun kepada masjid atau Ikatan(Organisasi), atau kepada kelompok yang tidak tentu, seperti orang-orang faqir miskin, maka tidak ada kewajiban zakat atas buah dan tanamanya.[11]
Ø Zakat rumah yang disewakan
Tidak ada kewajiban zakat untuk rumah tempat tinggal, pakaian badan, perabotan rumah, binatang untuk kendaraan, senjata yang dipakai dan bejan-bejana hias bila tidak terbuat dari emas dan perak. Demikian juga tidak ada kewajiban zakat untuk permata, seperti mutiara, batu delima (Arab: Yaqut), batu zabarjad (semacam batu zamrud) dan lain sebagainya, bila kesemuaanya ini tidak diperdagangkan, menurut kesepakatan semua madzhab. Demikian juga tidak ada kewajiban zakat untuk alat-alat industri secara mutlak, baik alat industrinya itu meninggalkan bekas pada barang yang diproduksinya atau tidak, kecuali menurut pendapat Hanafi. Karena Hanafi berpendapat: Bila alat-alat industri itu meninggalkan bekas pada produksinya, seperti industri celup, maka ia wajib dizakati, jika tidak maka tdak wajib pula. Demikian juga tidak ada kewajiban zakat untuk kitab-kitab keilmuan bila tidak untuk diperdagangkan, baik pemiliknya itu seorang ahli ilmu atau bukan, kecuali menurut Hanafi. Karena Hanafi berpendapat: Bila pemilik kitab-kitab keilmuan itu seorang ahli ilmu, maka kitab tersebut tidak wajib dizakati,. Jika bukan seorang ahli ilmu, maka wajib dizakati.10
Ø Zakat perniagaan
Harta perniagaaan wajib dizakati dengan syarat sebgaiman syarat-syarat dalam zakat emas dan perak, yakni islam, merdeka, milik penuh atau milik sempurna, sudah mencapai satu nishab dan sudah genap satu tahun, dan dalam hal ini Imam Syafi’i, Imam Hanafi, dan Imam Malik secara tegas mewajibkan zakat atas barang perniagaan. Mereka berlandaskan pada hadits dari Samurah bin Jundub, dimana ia menceritakan;
“Sesungguhnya Rasulallah memerintahkan kita untuk mengeluarakan zakat dari barang yang disediakan untuk dijual,” (HR. Abu Dawud, Daruquthni, Al-Baghawi dan Suyuti).
Ø Zakat tanaman dan buah-buahan
Dasar diwajibkanya zakat tanaman dan buah-buahan adalah firman Allah SWT sebagai berikut: وهو الذى أنشأ جنات معروشات وغير معروشات والزرع والنحل مختلفا
أكله والزيتون والرمان متشبها غير متثشابه كلوا من ثمره إذا أثمر وأتوا حقه يومحصاده ولاتشرفوا إنه لايحب المشرفين
"Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung-junjung dan yang tidak berjunjung-junjung, pohon kurma, tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa dan tidak sama. Nakanlah dari buahnya jika dia berbuah, dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya; Dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-An’am 141)[12]
Yang dimaksud tunaikan haknya dalam surat di atas adalah kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas hasil panennya.[13]
Ø Zakat hewan ternak
Dalam bahasa arab hewan ternak disebut Al-Ana’am. Kata ini juga merupakan salah satu nama surat dalam Al-Quran urutan ke -6. Dengan demikian zakat ini hanya terbatas pada
hewan ternak saja, sedangkan hewan paliharaan lainya yang tidak untuk diternak seperti anjing atau kucing dan burung peliharan tidak termasuk dalam zakat ini. Bahkan orang arab hanya membatasi hewan ternak hanya pada tiga jenis saja, yaitu unta, sapi(termasuk kerbau) dan kambing. Masing-masing dengan segala jenisnya.[14]
Ø Zakat rikaz
Rikaz secara bahasa bermakna:
المدفون في الأرض إذا خفي
“Sesuatu yang terpendam di dalam tanah dan tersembunyi”
Ada juga yang mengatakan bahwa makna rikaz itu sama dengan makna kanz (كنز), yaitu:
المال اللذى دفنه بنوا آدم في الأرض
“Harta yang dipendam manusia dalam tanah”
Sedangkan rikaz menurut syara’ bermakna
ما دفنه أهل الجاهليه
“Harta benda yang dipendam oleh orang-orang jahiliyah”
Jumhur ulama menetapkan bahwa yang dimaksud dengan rikaz adalah benda-benda berharga peninggalan zaman kerajaan-kerajaan di masa lalu yang tidak memeluk agama Islam. Benda-benda itu bisa saja berbentuk emas, perak atau benda lain yang berharta seperti guci, piring, marmer, logam, permata, berlian, kuningan, tembaga, ukiran, kayu dan lainnya. Semua itu termasuk jenis harta rikaz yang ada kewajiban zakatnya. Namun madzhab Asy-Syafi’iyah dalam pendapatnya yang baru (qaul jadid) hanya mengkhususkan emas atau perak saja yang termasuk rikaz. Di luar emas dan perak dalam pandangan mazhab ini bukan termasuk harta rikaz. Alasannya, karena rikaz termasuk al-mal al-mustafad yan didapat dari dalam bumi, sehingga harus ada ketentuan dalam urusan zakatnya.[15]
Ø Zakat hasil laut
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Jumhur ulama berpendapat bahwa hasil laut, baik berupa mutiara, merjan (manik- manik), zabarjad (kristal untuk batu permata) maupun ikan, ikan paus, dan lain-lainnya, tidak wajib dizakati. Namun Imam Hanbali berpendapat bahwa: hasil laut wajib dikeluarkan zakatnya apabila sampai satu nisab. Pendapat terakhir ini nampaknya sangat sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang ini karena hasil ikan yang telah digarap oleh perusahaan-perusahaan besar dengan peralatan modern menghasilkan uang yang sangat banyak. Nisab ikan senilai 200 dirham (672 gram perak). Mengenai zakat hasil laut ini memang tidak ada landasannya yang tegas, sehingga di antara para ulama sendiri terjadi perbedaan pendapat. Namun jika dilihat dari penjelasan dalam surah al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”
Dari penjelasan ayat di ats jelas bahwa setiap usaha yang menghasilkan uang dan memenuhi syarat, baik nisab maupun haulnya, wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun waktu mengeluarkan zakatnya sama seperti tanaman, yaitu di saat hasil itu diperoleh.
Semua ulama sepakat bahwa segala sesuatu yang dihasilkan dari laut wajib zakat. Dan sebagian ulama berbeda pandangan tentang wajib tidaknya ikan dalam zakat. Namun perlu di garis bawahi untuk dijadikan acuan adalah pendapat Imam Ahmad yang juga memasukkan ikan dalam zakat, dan banyak ulama yang menganjurkan kita untuk mengikuti pendapat Imam Ahmad untuk lebih kehati-hatian. Artinya harta-harta yang kita dapat dari eksplorasi laut dapat bermanfaat bagi kita dan masyarakat dengan mewajibkan zakat. Dan yang paling penting adalah bagaimana sekiranya harta kita bersih dengan mengeluarkan zakat termasuk zakat ikan. [16]
DAFTAR PUSAKA
1. Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc, PDF
2. Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat , oleh H. Ahmad Sarwat Lc, PDF
3. FIQIH LIMA MADZHAB, oleh Muhammad Jawad Mughniyah.
4. Abdurrahaman Al-jaziri, Fiqh empat madhzhab, Jakarta: Darul Ulum Pres Syarat wajib zakat
[1] . Lihat kamus al-mu’jam al- wasith jilid 1 hal. 398.
[2] . Lihat Fikhuz Zakat karya Syeikh Dr. Yusuf Al-Qardawi jilid 1 hal. 38.
[3] . Abdurrahaman Al-jaziri, Fiqh empat madhzhab, Jakarta: Darul Ulum Pres Syarat wajib zakat hal. 97-98
[4] . Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc. Hal: 42. pdf
[5] . Fiqih zakat kontemporer, oleh Syeikh Yusuf Al-Qhardhawy, hal: 14 pdf
[6] . Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc. Hal: 40 pdf
[7]. FIQIH LIMA MADZHAB, oleh Muhammad Jawad Mughniyah, hal: 185.
[8] . Abdurrahaman Al-jaziri, Fiqh empat madhzhab, Jakarta: Darul Ulum Pres Syarat wajib zakat hal. 128- 129.
[9] . FIQIH LIMA MADZHAB, oleh Muhammad Jawad Mughniyah, hal: 185.
[10] . Fiqih Wanita, edisi lengkap, Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Pustaka Al-Kautsar hal: 285-286.
[11] . Abdurrahaman Al-jaziri, Fiqh empat madhzhab, Jakarta: Darul Ulum Pres Syarat wajib zakat, hal: 99-101.
[12] . (Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc. Hal:24) PDF
[13] . Abdurrahaman Al-jaziri, Fiqh empat madhzhab, Jakarta: Darul Ulum Pres Syarat wajib zakat, hal: 148.
[14] . ( Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc. Hal:34) PDF
[15] . Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat , oleh H. Ahmad Sarwat Lc Hal; 182 PDF
16. ( Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc. Hal:34) PDF
Definisi zakat
Zakat Secara bahasa adalah bertambah, suci, tumbuh, barakah[1]. Sebagaimana firman Allah SWT:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا )اشمس(9 :
“ Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya” (Qs. Assams: 9)
Sedang secara syara’ zakat adalah bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah wajibkan untuk diberikan kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak menerima zakat)[2]. Ini berarti orang-orang yang memiliki nisab zakat wajib memberikan kadar tertentu dari harta nya kepada orang-orang miskin yang semisal dari mereka yang berhak menerima zakat.
Ø Hukuman bagi orang yang enggan mengeluarkan zakat
Barangsiapa yang menolak untuk mengeluarkan zakat karena kikir, maka zakat harus diambil darinya secara paksa dan orang itu dikenai hukum jera ( ta’zir ). Demikian menurut kesepakatan empat imam madzhab Syafi’I berpendapat dalam qaul qadim : harus diambil sebagian hartanya disamping harta yang wajib dikeluarkan . hanafi : orang itu harus dipenjarakan hingga ia mengeluarkan zakat, tetapi tidak
diambil hartanya secara paksa . Adapun orang yang menghindari kewajiban zakat, seperti memberikan sebagian hartanya atau menjualnya dan membelinya kembali sebelum setahun, maka gugurlah kewajiban zakat darinya, tetapi ia dipandang telah berbuat durhaka atau kejahatan. Demikian menurut pendapat hanafi dan syafi’i. sedangkan maliki dan hambali berpendapat : tidak gugur kewajiban zakatnya. 2
Ø Orang yang diwajibkan mengeluarkan zakat
Zakat adalah suatu bentuk ibadah yang unik dan spesifik. Meskipun secara hakikatnya merupakan ibadah sosial yang intinya memberikan bantuan kepada si miskin namun ada ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan denganya. para imam madzhab sepakat bahwa zakat diwajibkan kepada orang islam yang merdeka, baligh, dan berakal sehat. Mereka berbeda pendapat tentang kewajiban zakat bagi budak mukatab. Hianafi berpendapat : wajib zakat sepersepuluh atas tumbuhan-tumbuhan milik mukatab , tidak pada hartanya yanh lain. Ats-tsawri berpendapat, “ wajib zakat atas mukatab secara mutlak .” Maliki, syafi’I, dan Hambali berpendapat: tidak diwajibkan zakat atas budak mukatab. Orang murtad yang semasa keislamanya telah diwajibkan membayar zakat, maka kewajiban tersebut tidak gugur lantaran kemurtadannya. Demikian menurut tiga imam mazhab. Sedang Hanafi berpendapat: kewajiban tersebut gugur.. 4
Ø Hukum zakat pada harta anak-anak dan orang gila
Hukum zakat pada harta keduanya(anak- anak dan orang gila) Menurut Imam Syafi’i: wajib, begitu juga menurut Imam Abi Al-Hasan bin Ahmad bin Muhammad Ja’far al-Naghdadiyyi Al-Qadduriyyi. Hanafi berpendapat: Bahwa harta anak kecil dan harta orang gila tidak wajib dizakati, sedang bagi walinya tidak dituntut untuk mengeluarkan zakat dari harta keduanya. Karena zakat merupakan “Ibadah Mahdhah” (murni). Sedangkan anak kecil dan orang gila tidak diperintah untuk menunaikan zakat, dan yang wajib pada hartanya hanyalah untuk kepentingan denda dan nafkah, karena keduanya itu termasuk hak semua orang; juga pada hartanya wajib dikeluarkan 10 persen dan zakat fitrah, karena dalam hal ini mengandung pengertian biaya belanja. Maka ia juga termasuk hak semua orang. Hukum orang yang kurang waras pikiranya (gila) sama dengan hukum anak kecil, oleh karena itu maka tidak ada kewajiban zakat atas keduanya( anak-anak dan orang gila) .[3] Imamiyah berpendapat: Berakal dan baligh tidak menjadi syarat wajib zakat, maka dari itu harta anak-anak dan orang gila wajib dizakati, walinya harus mengeluarkannya.
Ø Hukum bagi seseorang yang memiliki harta yang mencapai nisab tapi masih mempunyai hutang
orang yang mempunyai piutang yang banyaknya sampai satu nisab dan nisabnya telah sampai satu tahun serta memenuhi syarat-syarat yang mewajibkan zakat, juga keadaan piutang itu telah tetap, baik piutang itu dari jenis emas atau perak maupun harta perniagaan. Piutang yang seperti itu wajib dizakati dan wajib mengeluarkan zakatnya bila mungkin membayarnya.Kalau yang berhutag itu kaya, dapat membayar sekiranya yang berpiutang minta dibayar , maka yang berpiutang wajib membayar zakatnya ketika itu. Tetapi kalau berpiutang miskin, belum dapat membayar, maka zakatnya tidak wajib dabayar ketika itu, hanya wajib dibayar sewaktu ia sudah dapat membayar, walaupun untuk beberapa tahun ( beberapa kali bayaran ).6dalam hal ini, Syafi’I mempunyai dua pendapat. Pertama, dalam qaul jadid dan yang kuat: tidak gugur. Kedua. Dalam qaul qadim: gugur. Pendapat qadim syafi’I sesuai dengan pendapat hanafi, tetapi kewajiban membayar sepersepuluhnya tidak gugur. Hambali juga memiliki dua pendapat tentang harta konkret. Pendapat termashur diantaranya: utang tidak menggugurkan kewajiban zakat jika harta itu berupa benda konkret.
Sementara itu, maliki berpendapat: utang menggugurkan kewajiban zakat atas emes dan perak, tetapi tidak atas binatag ternak.
Ø Orang yang meninggal dunia tapi masih mempunyai tanggungan membayar zakat
orang yang berkewajiban membayar zakat, lalu ia mati sebelum melaksanakannya , maka zakat itu diambilkan dari harta peninggalanya. Demikian menurut tiga imam mazhab. Sementara iu, Imam Hanafi berpendapat: kewajibanya gugur disebabkan kematianya. Akan tetapi, jika ia berwasiat tentang kewajiban tersebut, maka zakatnya diambil dari sepertiga hartanya. Syafi’I dan Hambali berpendapat: kewajibanya tidak gugur. Sedangkan menurut maliki: jika ia tidak mempedulikan kewajiban zakatnya hingga melampaui masa setahun atau beberapa tahun, maka hal itu menjadi tanggunganya dan berarti ia telah durhaka kepada Allah swt. Selain itu, semua hartanya menjadi hak ahli waris. Sementara itu, zakat yang menjadi tanggunganya berubah menjadi hutang terhadap orang yang tidak jelas. Oleh karena itu, tanggungan tersebut tidak dapat dibayar dengan ahli warisnya. Kalau ia mewasiatkan untuk itu, maka diambil sepertiga, dari peninggalanya terlebih dahulu sebelum wasiat lainya dipenuhi. Jika ia tidak membayarkanya hingga ia mati maka zakat harus dikeluarkan dari keseluruhan hartanya. 7
Ø Niat merupakan syarat membayar zakat
Empat mazhab sepakat bahwa pembayaran zakat tidak sah kecuali disertai dengan niat. Al-awza’i berpendapat bahwa dalam mengeluarkan zakat tidak diperlukan niat. Para imam madzhab berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya mendahulukan niat dari pada pembayaranya. Hanafi berpendapat: tidak boleh tidak., harus ada niat bersamaan dengan pembayaran atau pemisahan kadar yang wajib dibayarkan. Maliki dan syafi’I berpendapat: sahnya pembayaran zakat memerlukan kesertaan niat. Sementara itu, Hambali berpendapat: hal demikian adalah mustahab. Oleh sebab itu, jika sekiranya niat itu lebih sedikit, dibolehkan. Sedangkan jika terlalu lama, tentu tidak sah, sebagaimana thaharah, shalat dan haji.8
Ø Menyegerakan membayar zakat
menyegerakan pembayaran zakat sebelum mencapai hawl dibolehkan apabila harta itu telah mencapai nisab, kecuali menurut Maliki, yang tidak membolehkanya. Jika seorang menyegerakan membayar zakat dan memberikanya kepada seorang fakir, kemudian orang fakir itu meninggal dunia atau menjadi kaya bukan karena zakat yang diterimanya, sebelum mencapai hawl, maka zakat tersebut ditarik kembali. Namun, Hanafi berpendapat bahwa zakat itu, tidak perlu diminta kembali.
v Jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya
Ø Zakat mata uang
Zakat mata uang atau zakat tabungan adalah zakat harta yang disimpan baik dalam bentuk tunai, rekening di Bank atau dalam bentuk yang lain. Harta ini tidak digunakan untuk mendapatkan penghasilan, tetapi sekedar untuk disimpan. Bila nilaiya bertambah lantaran disimpan di Bank, maka bunganya bukan hak miliknya. Bunga itu sendiri harus dikembalikan kepada kepentingan masyarakat banyak.[4] Syeikh Yusuf Al-Qardhawy menjelaskan mengenai ketentuan nisab uang ini, yaitu 85 gram emas dan 200 gram perak. Menutup pembahasan zakat uang ini, Yusuf Al-Qardhawy mengingatkan kembali bahwa setiap uang milik penuh yang sudah sampai senisab, bebas dari hutang, dan merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, maka wajiblah zakatnya 2.5 persen, yaitu sekali dalam setahun. [5]
Ø Zakat emas dan perak
Emas dan perak yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang berbentuk simpanan. Sedang bila berbebtuk perhiasan yang sering dipakai atau dikenakan tidak termasuk yang wajib dikeluarkan zakatnya. Karena harga emas umumnya stabil, tidak seperti harga mata uang, banyak orang yang menyimpan hartanya dalam bentuk emas. Apabila emas ini dijadikan dalam bentuk simpanan, maka wajib mengeluarkan zakatnya bila telah mencapai nisab dan haul.[6] Menurut empat madzhab emas dan perak wajib dizakati jika dalam bentuk batangan, begitu juga dalam bentuk uang. Mereka berbeda pendapat mengenai emas dan perak dalam bentuk perhiasan. Sebagian mewajibkan zakat, sebagian yang lain tidak mewajibkan. Imamiyah berpendapat: Wajib zakat atas emas dan perak jika berada dalam bentuk uang, dan tidak wajib dizakati jika berbentuk batangan dan perhiasan.[7]
v Zakat piutang
Baranagsiapa mempunyai piutang kepada orang lain yang telah mencapai batas nishab dan telah berlangsung selama satu tahun, dan juga telah memenuhi syarat-syarat yang telah dikemukakan terdahulu , maka mengenai ketentuan zakatnya terdapat rincian pendapat dari berbagai madzhab : Imama Hambali berpendapat: Zakat piutang itu wajib bila piutang tadi kuat dalam tanggungan orang yang berhutang, sekalipun dia bangkrut. Hanya saja, zakatnya tidak wajib dikeluarkan kecuali setelah piutang itu diterima. Maka ia wajib mengeluarkan piutang yang diterimanya itu secara langsung bila telah mencapai nishab, baik dengan sendirinyaatau digabungkan dengan harta yang ia miliki. Dan tidak ada kewajiban zakat untuk piutang yang tidak kuat dalam tanggungan orang yang berhutang. Maliki berpendapat: Barang siapa memiliki harta karena warisan atau hibah atau shadaqah, khulu’., atau karena menjual harta benda miliknya, misalnya menjual barang-barang (perabot) atau tanah.
Ø Zakat uang kertas dan surat-surat berharga
Zakat uang kertas atau biasa disebut dengan “Banknote” sebagian besar fuqaha’ memandang bahwa zakat uang kertas itu wajib, karena uang kertas (Banknote) kedudukanya sama dengan emas dan perak dalam penggunaanya, dan ia dapat dipertukarkan dengan perak tanpa ada kesulitan. Maka tidaklah masuk akal bagi orang yang memiliki kekayaan berupa uang kertas dimana nisab zakatnya dapat dipertukarkan dengan perak sementara ia tidak mau mengeluarkan zakatnya. Oleh karena itu, para Fuqaha’ dari tiga imam madzhab sepakat bahwa zakat uang kertas itu wajib hukumnya. Hanya Imam Hambali yang menyangkal pendapat ini. Menurut imam Syafi’i bahwa uang kertas (Banknote) nilai tukarnya sama dengan cek di bank, maka orang yang memiliki uang kertas berarti memiliki nilai (harga) uang tersebut sebagai piutang atas bank, dan bank (ibaratnya) sebagai pihak yang mempunyai hutang penuh, tetap (kuat) siap membayar kapan saja bila pihak yang mempunyai hutang memiliki sifat-sifst yang demikian itu berarti piutang tersebut wajib dizakati secara langsung. [8] Syafi’I, Maliki dan Hanafi berpendapat: Uang kertas tidak wajib dizakati, kecuali apabila telah memenuhi semua syarat, antara lain yaitu telah sampa nishabnya dan telah cukup berlalunya waktu satu tahun. Menurut Hambali: Uang kertas tidak wajib dizakati, kecuali jika ditukar dalam bentuk emas dan perak. Sedang Imamiyah berpendapat: Mewajibkan satu atau dua puluh persen (20%) dari sisa belanja satu tahun.[9] . Adapun menurut Syeikh Yusuf Al-Qhardhawy nisab untuk uang kertas dan surat-surat berharga ditetapkan setara dengan 85 gram emas, dengan pertimbangan nilai emasyang jauh lebih stabil dari pada perak.
Ø zakat perhiasan
Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban membayar zakat atas perhiasan yang dipakai oleh wanita muslimah, baik emas maupun perak. Menurut Ibnu Hazm: Wajib mengeluarkan zakat atas perhiasan yang dikenakan, seraya mengatkan: ‘Pengeluaran zakat atas perhiasan yang dipakai merupakan sesuatu yang diwajibkan apabila telah mencapai satu tahun”. Ia juga mengatakan;” Tidak diperbolehkan menggabungkan antara emas dan perak dalam hal pembayaran zakatnya. Juga tidak boleh mengeluarkan zakat hanya salah satu dari keduanya, baik itu perhiasan wanita maupaun laki-laki. Begitu jga terhadap perhiasan pedang, mushaf dan cincin. Sedang Imam Hanafi berpandapat: Wajib mengeluarkan zakat atas emas dan perak. Sedang Imam Maliki berpendapat: Jika perhiasn itu dikenakan oleh wanita muslimah atau milik lak-laki yang dipersiapkan sebagai mahar bagi calon isterinya, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya. Akan tetapi bila perhiasan itu dipersiapkan untuk kepentinganya sendiri, maka terdapat kewajiban zakat atasnya. Sedangkan atas perhiasan yang berbentuk pedang , mushaf dan cincin bagi laki-laki, maka dalam hal ini tidak ada kewajiban zakatnya”. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Hambali berpendapat; Perhiasan yang berbentuk pedang, mushaf dan yang sejenisnya tidak ada kewajiban zakat atasnya, meskipun terbuat dari emas dan perak.” Jika perhiasan itu dipakai atau dipinjamkan, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya. Sedangkan perhiasan yang sengaja disimpan maka ada kewajiban zakata atasnya, demikian menurut Al-Laits.[10]
Ø Zakat mahar pernikahan
Dalam zakat mahar pernikahan disyaratkan wajib milik penuh. Yakni, apakah mahar pernikahan sebelum berada ditangan sang wanita dianggap sebagai milik penuh atau tidak, dalam hal ini. Imam Hanafi berpendapat: Bahwa yang dimaksud milik penuh adalah harta milik yang ada ditangan. Bila seseorang memiliki sesuatu yang tidak ada di tanganya, maka tidak wajib dizakati. Seperti mas kawin seorang wanita sebelum ada di tangan, maka tidak wajib dizakati, Demikian juga tidak ada zakat bagi orang yang memegang harta yang bukan miliknya, seperti pengutang yang memegang harta orang lain. Imam Mliki berpendapat : Yang dimaksud milik penuh adalah bila seeorang mempunyai kewenagan untuk mempergunakan apa-apa yang dimilikinya itu. Maka tidak ada zakat bagi seorang hamba dengan segala macamnya dalam hal harta yang dimilikinya, karena pemiliknya itiu tidak sempurna, sekalipun ia hamba mukatab, sebab boleh jadi dengan mempergunakanya itu dapat menyebabkanya tidak mampu melunasi hutang penebusan atau pembebasan dari status hamba (dayn al-kitabah), sehingga statusnya akan kembali lagi sebagai seorang hamba. Sedang Imam Hambali berpendapat: bahwa yang dimaksud milik penuh adalah harta yang ada di tangan, tidak bersangkutan dengan dengan harta orang lain, ia mempunyai hak menggunakanya sesuai dengan keinginanya, dan hasil dari harta yang diperolehnya itu menjadi miliknya, bukan milik orang lain. Imam Syafi’I berpendapat: Persyaratan milik penuh mengecualikan hamba sahaya dan hamba mukatab, Keduanya ini tidak wajib zakat, adapun yang pertama yakni, hamba sahaya, karena ia tidk memiliki apa-apa; sedangkan yang kedua, yakni, hamba mukatab,karena pemilikanya itu lemah. Demikian juga persyaratan ini mengecualikan harta mubah milik umum, seperti tanaman yang tumbuh sendiri di tanah bebas tanpa ada orang yang menanamnya. Maka dalam hal ini tidak ada kewajiban menzakati Karena tidak ada yang memiliki, ini juga mengecualikan harta yang diwaqafkan kepada sesuatu yang tidakrtentu, maka tidak ada zakat. Seperti halnya apabila mewaqafkan kebun kepada masjid atau Ikatan(Organisasi), atau kepada kelompok yang tidak tentu, seperti orang-orang faqir miskin, maka tidak ada kewajiban zakat atas buah dan tanamanya.[11]
Ø Zakat rumah yang disewakan
Tidak ada kewajiban zakat untuk rumah tempat tinggal, pakaian badan, perabotan rumah, binatang untuk kendaraan, senjata yang dipakai dan bejan-bejana hias bila tidak terbuat dari emas dan perak. Demikian juga tidak ada kewajiban zakat untuk permata, seperti mutiara, batu delima (Arab: Yaqut), batu zabarjad (semacam batu zamrud) dan lain sebagainya, bila kesemuaanya ini tidak diperdagangkan, menurut kesepakatan semua madzhab. Demikian juga tidak ada kewajiban zakat untuk alat-alat industri secara mutlak, baik alat industrinya itu meninggalkan bekas pada barang yang diproduksinya atau tidak, kecuali menurut pendapat Hanafi. Karena Hanafi berpendapat: Bila alat-alat industri itu meninggalkan bekas pada produksinya, seperti industri celup, maka ia wajib dizakati, jika tidak maka tdak wajib pula. Demikian juga tidak ada kewajiban zakat untuk kitab-kitab keilmuan bila tidak untuk diperdagangkan, baik pemiliknya itu seorang ahli ilmu atau bukan, kecuali menurut Hanafi. Karena Hanafi berpendapat: Bila pemilik kitab-kitab keilmuan itu seorang ahli ilmu, maka kitab tersebut tidak wajib dizakati,. Jika bukan seorang ahli ilmu, maka wajib dizakati.10
Ø Zakat perniagaan
Harta perniagaaan wajib dizakati dengan syarat sebgaiman syarat-syarat dalam zakat emas dan perak, yakni islam, merdeka, milik penuh atau milik sempurna, sudah mencapai satu nishab dan sudah genap satu tahun, dan dalam hal ini Imam Syafi’i, Imam Hanafi, dan Imam Malik secara tegas mewajibkan zakat atas barang perniagaan. Mereka berlandaskan pada hadits dari Samurah bin Jundub, dimana ia menceritakan;
“Sesungguhnya Rasulallah memerintahkan kita untuk mengeluarakan zakat dari barang yang disediakan untuk dijual,” (HR. Abu Dawud, Daruquthni, Al-Baghawi dan Suyuti).
Ø Zakat tanaman dan buah-buahan
Dasar diwajibkanya zakat tanaman dan buah-buahan adalah firman Allah SWT sebagai berikut: وهو الذى أنشأ جنات معروشات وغير معروشات والزرع والنحل مختلفا
أكله والزيتون والرمان متشبها غير متثشابه كلوا من ثمره إذا أثمر وأتوا حقه يومحصاده ولاتشرفوا إنه لايحب المشرفين
"Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung-junjung dan yang tidak berjunjung-junjung, pohon kurma, tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa dan tidak sama. Nakanlah dari buahnya jika dia berbuah, dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya; Dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-An’am 141)[12]
Yang dimaksud tunaikan haknya dalam surat di atas adalah kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas hasil panennya.[13]
Ø Zakat hewan ternak
Dalam bahasa arab hewan ternak disebut Al-Ana’am. Kata ini juga merupakan salah satu nama surat dalam Al-Quran urutan ke -6. Dengan demikian zakat ini hanya terbatas pada
hewan ternak saja, sedangkan hewan paliharaan lainya yang tidak untuk diternak seperti anjing atau kucing dan burung peliharan tidak termasuk dalam zakat ini. Bahkan orang arab hanya membatasi hewan ternak hanya pada tiga jenis saja, yaitu unta, sapi(termasuk kerbau) dan kambing. Masing-masing dengan segala jenisnya.[14]
Ø Zakat rikaz
Rikaz secara bahasa bermakna:
المدفون في الأرض إذا خفي
“Sesuatu yang terpendam di dalam tanah dan tersembunyi”
Ada juga yang mengatakan bahwa makna rikaz itu sama dengan makna kanz (كنز), yaitu:
المال اللذى دفنه بنوا آدم في الأرض
“Harta yang dipendam manusia dalam tanah”
Sedangkan rikaz menurut syara’ bermakna
ما دفنه أهل الجاهليه
“Harta benda yang dipendam oleh orang-orang jahiliyah”
Jumhur ulama menetapkan bahwa yang dimaksud dengan rikaz adalah benda-benda berharga peninggalan zaman kerajaan-kerajaan di masa lalu yang tidak memeluk agama Islam. Benda-benda itu bisa saja berbentuk emas, perak atau benda lain yang berharta seperti guci, piring, marmer, logam, permata, berlian, kuningan, tembaga, ukiran, kayu dan lainnya. Semua itu termasuk jenis harta rikaz yang ada kewajiban zakatnya. Namun madzhab Asy-Syafi’iyah dalam pendapatnya yang baru (qaul jadid) hanya mengkhususkan emas atau perak saja yang termasuk rikaz. Di luar emas dan perak dalam pandangan mazhab ini bukan termasuk harta rikaz. Alasannya, karena rikaz termasuk al-mal al-mustafad yan didapat dari dalam bumi, sehingga harus ada ketentuan dalam urusan zakatnya.[15]
Ø Zakat hasil laut
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Jumhur ulama berpendapat bahwa hasil laut, baik berupa mutiara, merjan (manik- manik), zabarjad (kristal untuk batu permata) maupun ikan, ikan paus, dan lain-lainnya, tidak wajib dizakati. Namun Imam Hanbali berpendapat bahwa: hasil laut wajib dikeluarkan zakatnya apabila sampai satu nisab. Pendapat terakhir ini nampaknya sangat sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang ini karena hasil ikan yang telah digarap oleh perusahaan-perusahaan besar dengan peralatan modern menghasilkan uang yang sangat banyak. Nisab ikan senilai 200 dirham (672 gram perak). Mengenai zakat hasil laut ini memang tidak ada landasannya yang tegas, sehingga di antara para ulama sendiri terjadi perbedaan pendapat. Namun jika dilihat dari penjelasan dalam surah al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”
Dari penjelasan ayat di ats jelas bahwa setiap usaha yang menghasilkan uang dan memenuhi syarat, baik nisab maupun haulnya, wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun waktu mengeluarkan zakatnya sama seperti tanaman, yaitu di saat hasil itu diperoleh.
Semua ulama sepakat bahwa segala sesuatu yang dihasilkan dari laut wajib zakat. Dan sebagian ulama berbeda pandangan tentang wajib tidaknya ikan dalam zakat. Namun perlu di garis bawahi untuk dijadikan acuan adalah pendapat Imam Ahmad yang juga memasukkan ikan dalam zakat, dan banyak ulama yang menganjurkan kita untuk mengikuti pendapat Imam Ahmad untuk lebih kehati-hatian. Artinya harta-harta yang kita dapat dari eksplorasi laut dapat bermanfaat bagi kita dan masyarakat dengan mewajibkan zakat. Dan yang paling penting adalah bagaimana sekiranya harta kita bersih dengan mengeluarkan zakat termasuk zakat ikan. [16]
DAFTAR PUSAKA
1. Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc, PDF
2. Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat , oleh H. Ahmad Sarwat Lc, PDF
3. FIQIH LIMA MADZHAB, oleh Muhammad Jawad Mughniyah.
4. Abdurrahaman Al-jaziri, Fiqh empat madhzhab, Jakarta: Darul Ulum Pres Syarat wajib zakat
[1] . Lihat kamus al-mu’jam al- wasith jilid 1 hal. 398.
[2] . Lihat Fikhuz Zakat karya Syeikh Dr. Yusuf Al-Qardawi jilid 1 hal. 38.
[3] . Abdurrahaman Al-jaziri, Fiqh empat madhzhab, Jakarta: Darul Ulum Pres Syarat wajib zakat hal. 97-98
[4] . Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc. Hal: 42. pdf
[5] . Fiqih zakat kontemporer, oleh Syeikh Yusuf Al-Qhardhawy, hal: 14 pdf
[6] . Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc. Hal: 40 pdf
[7]. FIQIH LIMA MADZHAB, oleh Muhammad Jawad Mughniyah, hal: 185.
[8] . Abdurrahaman Al-jaziri, Fiqh empat madhzhab, Jakarta: Darul Ulum Pres Syarat wajib zakat hal. 128- 129.
[9] . FIQIH LIMA MADZHAB, oleh Muhammad Jawad Mughniyah, hal: 185.
[10] . Fiqih Wanita, edisi lengkap, Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Pustaka Al-Kautsar hal: 285-286.
[11] . Abdurrahaman Al-jaziri, Fiqh empat madhzhab, Jakarta: Darul Ulum Pres Syarat wajib zakat, hal: 99-101.
[12] . (Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc. Hal:24) PDF
[13] . Abdurrahaman Al-jaziri, Fiqh empat madhzhab, Jakarta: Darul Ulum Pres Syarat wajib zakat, hal: 148.
[14] . ( Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc. Hal:34) PDF
[15] . Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat , oleh H. Ahmad Sarwat Lc Hal; 182 PDF
16. ( Fiqih zakat kontemporer, oleh H. Ahmad Sarwat, Lc. Hal:34) PDF